Takhayul dan Senthe Wulung Terbukti Mampu Mengangkat Citra Madrasah

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Purbalingga – Melalui perjuangan keras yang cukup melelahkan, akhirnya Tim Sinematografi MIM Kedungjampang berhasil membawa nama baik Jawa Tengah di tingkat nasional meski harus ikhlas berada di urutan 3 besar.  Setelah dalam event sebelumnya di tingkat Jawa Tengah berhasil mengharumkan nama Purbalingga dengan meraih papan atas melalui Takhayul, kini Senthe Wulung mengantar nama Jawa Tengah pada posisi 3 besar di tingkat nasional.

Demikian disampaikan Produser film sekaligus Kepala MIM Kedungjampang, Sapto Jatmiko Sabtu (04/11). Ia merasa bersyukur saat mengetahui tim sinematografinya meraih Juara III dalam ajang Olympicad Pentasbora V  Tingkat Nasional yang diselenggarakan di kota Bandar Lampung  26-29 Oktober silam.

“Tim yang berangkat ke Bandar Lampung terdiri dari 4 orang. Dari unsur guru Pak Fajar sang sutradara film didampingi seorang guru pendamping. Kedua siswa yang menerima penghargaan, Hanif dan Alul  merupakan pemeran utama  baik dalam film Takhayul maupun Senthe Wulung,” jelas Sapto Jatmiko.

Dia juga menambahkan bahwa publikasi di Youtube  yang menjadi salah satu syarat wajib seleksi untuk film Takhayul  dilakukan 23 Agustus 2017 sedangkan perlombaan dilaksanakan 25-26 Agustus 2017 di Universitas Muhammadiyah Semarang. Setelah melewati tahap seleksi di tingkat propinsi, timnya harus segera menyiapkan judul baru dengan tema yang sama yaitu pendidikan aqidah Islamiyah.

Film Takhayul  menceritakan kisah Hanif seorang siswa di sebuah Madrasah Ibtidaiyah yang kejatuhan tikus di pundaknya saat ia belajar kelompok bersama teman-temannya. Seperti kata teman sekelasnya yang menirukan omongan orang-orang tua di daerahnya, ia akan dirundung kesialan dalam hidupnya. Setelah beberapa kali mengalami “kesialan” Hanif pun menanyakan hal tersebut kepada gurunya. Lalu sang guru pun menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar karena bertentangan dengan ajaran agama Islam.

“Senada dengan Takhayul, film Senthe Wulung mengisahkan saat Hanif sering dipanggil guru kelasnya karena nilai matematikanya yang sangat rendah. Dalam usahanya mendapatkan nilai yang baik, ia diberi daun Senthe Wulung oleh seorang kakek. Saran Sang Kakek agar ia menggunakan daun tersebut untuk membungkus pensil atau  alat tulisnya agar mudah dalam mengerjakan soal. Tetapi hasil ulangannya tetap buruk karena ia tidak belajar dan hanya yakin dengan keajaiban daun Senthe Wulung. Sang guru pun akhirnya berhasil menyadarkannya,” papar Sapto. (sar/gt)