081128099990

WA Layanan

08.00 - 16.00

Senin - Jumat

Penyuluh Agama Sebagai Agen Pembangunan Ekonomi Keumatan

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Bimas Hindu – Penyuluh agama sebagai inspirator dan motor penggerak perubahan.Salah satu diantaranya dilihat dari aspek sosio ekonomi masyarakat agar pertumbuhan keumatan lebih baik dengan ekonomi umat yang baik. Demikian disampaikan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Farhani dalam Rapat Koordinasi Bimas dengan Penyuluh Agama Kristen, Katolik dan Hindu Non Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah pada Selasa (12/2) yang diikuti sebanyak 353 penyuluh agama di Aula Utama Kanwil Kemenag Jateng.

“Hal ini sesuai dengan Misi Kementerian Agama Meningkatkan pemanfaatan dan kualitas pengelolaan potensi ekonomi keagamaan,” Jelas Farhani

Lebih lanjut Farhani mengatakan untuk membangun Indonesia yang lebih baik maka kementerian agama mengajak semua untuk memahami ajaran agama yang baik seperti disarankan oleh menteri agama Lukman Hakim yaitu dengan moderasi agama, saling menghargai dan menghormati serta menjaga kerukunan.

“Moderasi Agama harus ditingkatkan sebagai pemahaman agama yang berpikiran luas, saling menghargai dan menghormati adalah keniscayaan ajaran agama dan kerukunan intern dan antar umat bergama penting sebagai dasar terwujudnya masyarakat aman dan damai,” ungkap Farhani.

Peran penyuluhan agama itu sangatlah penting didalam masyarakat sosial, karena dengan adanya  penyuluhan agama didalam masyarakat sosial itu dapat membawa suatu perubahan yang cukup baik. Dan penyuluhan agama sebelum meneliti dimasyarakat sosial itu pasti memiliki sebuah rencana-rencana yang sistematis yang nantinya dapat menimbulkan daya tarik yang positif bagi masyarakat. 

Maka penyuluhan agama sebagai proses perubahan sosial semoga dapat menyadarkan masyarakat yang awalnya memiliki sebuah permasalahan dapat teratasi sedikit demi sedikit. Aktualisasi penyuluhan agama transformatif dalam rangka penyuluhan pembangunan yang melahirkan kemandirian ekonomi umat dimulai dari kesadaran reflektif atas fenomena sosial keagamaan yang pada umat. Kesadaran reflektif ini diikuti olah aksi nyata yang mendasar pada permasalahan dan sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan dari dan oleh umat itu sendiri. (Wahonogol/Wul)