Menjaga Pergaulan; Menggapai Bahagia

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Asevanā ca bālānaṁ,

Paṇḍitanañ ca sevana

Etaṁ maṅgala-muttamaṁ

Tak bergaul dengan orang-orang dungu

Bergaul dengan para bijaksanawan

Itulah berkah utama

(Manggala Sutta)

Mengapa jangan bergaul dengan orang dungu?

Mari kita ingat kembali kisah Ajatasattu, yang telah dipengaruhi oleh Devadatta yang oleh Sang Buddha sendiri memperoleh sebutan si “penjilat lidah” (khelasika).

Devadatta telah beberapa kali membuat hasutan kepada masyarakat kala itu untuk memusuhi  Sang Buddha. Salah satunya dari Pangeran Ajatasattu, anak dari Raja Bimbisara. Devadatta datang kepada pangeran Ajatasattu dan mempertunjukkan kemampuan gaibnya. Pangeran Ajatasattu yang merasa kagum pada Devadatta akhirnya menjadi mudah untuk dipengaruhi oleh Devadatta. Akhirnya Devadatta menghasut Pangeran Ajatasattu untuk mengambil alih tahta kerajaan dan membunuh ayahnya. Mendengar hasutan itu, pangeran Ajatasattu terpengaruh, dan merencanakan untuk mengambil tahta kerajaan dari Ayahnya.

Ketika Raja Bimbisara mengetahui rencana anaknya, Ia tidak menghukum anaknya, tetapi menyerahkan tahta kerajaan kepada Ajatasattu. Mendapat tahta dari ayahnya bukannya membuat Ajatasattu merasa puas, Ia justru menangkap ayahnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Diperintahkannya pada para pengawal supaya ayahnya tidak diberi makan. Ajatasattu ingin ayahnya menderita sampai mati. Sedangkan yang diijinkan untuk mengunjungi Raja Bimbisara hanyala ibunya.

Raja Bimbisara, menderita kelaparan di penjara, namun tetap bertahan hidup, dan berlatih meditasi. Hal itu menjadi satu-satunya sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi dirinya. Akhirnya, Bimbisara mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna). Melihat hal ini, Ajatasattu yang masih menaruh kebencian terhadap ayahnya, mendatangkan tukang cukur untuk menambah penderitaan ayahnya. Kaki Bimbisara disayat-sayat, dan dilumuri garam, hingga akhirnya Bimbisara meninggal dunia.


Pada hari itu juga, anak Raja Ajatasattu lahir. Ajatasattu merasa sangat berbahagia melihat anaknya yang baru saja lahir tersebut. Ia merasakan cinta dan kasih sayang yang luar biasa kepada anaknya itu. Seketika itu pula ia teringat kepada ayahnya sendiri. Ia merasa sangat bersalah. tergerak juga nuraninya, Dengan tergesa-gesa ia memerintahkan kepada pengawalnya untuk segera pergi ke penjara dan membebaskan ayahnya. Namun terlambat. Ayahnya telah meninggal dunia. Dan seketika itu remuk hati Ajatasattu dengan kesedihan dan penyesalan terhadap  perbuatannya sendiri.

Demikianlah, mengapa kita harus menghindari pergaulan dengan orang-orang dungu. Karena orang dungu adalah mereka yang tidak dapat membedakan baik atau buruk, tidak tahu berterima kasih atas kebaikan orang, tidak mau menerima nasehat dari orang lain, dan cenderung mempengaruhi kita kepada hal yang tidak benar.

Buddha, di dalam Sigalovada Sutta menyampaikan, bahwa terdapat empat macam orang yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabat (amittamittapatirupaka): Yaitu orang yang tamak (annadatthuharo); orang yang banyak bicara tetapi tidak berbuat suatu apa (vaci paramo); penjilat (annuppiyabhani); kawan pemboros (apayasahayo).

Kemudian sang Buddha menjelaskan dalam Sutta yang sama, bahwa terdapat enam bahaya akibat bergaul dengan teman-teman jahat (papamitta): ia akan menjadi penjudi, ia akan gemar berfoya-foya, ia akan menjadi pemabuk, ia akan menjadi penipu, ia akan menjadi pengecoh, dan ia akan menjadi orang yang kejam.

Di dalam Angutara Nikaya III,2 (Tika Nipata) dijelaskan bahwa orang dungu maupun orang bijaksana ditandai oleh perilakunya. Yaitu melalui tiga hal, lewat perilaku tubuh, ucapan, dan pikiran yang buruk maupun yang baik.

Orang dungu juga diibaratkan seperti sebuah rumah gubuk yang berada di semak-semak. Akan mudah terbakar, dan jika terbakar akan mudah membakar rumah-rumah yang lain. Demikianlah, bagaimana orang dungu akan mudah mempengaruhi kita kepada hal-hal yang merugikan untuk diri kita sendiri maupun orang lain.

Kemudian, bagaimanakah bergaul dengan orang bijaksana? Buddha mengatakan, bahwa terdapat empat sifat orang bijak yang layak dianggap sebagai sahabat: yaitu penolong (upakaro); sahabat pada waktu senang dan susah (samanasukha dukkhomitto); sahabat yang memberi nasehat baik (atthakhaya mitto); sahabat yang bersimpati (anukampako-mitto). Bergaul atau bersahabat dengan orang-orang yang memiliki sifat ini, maka akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang benar. (Jum/at)