Meski di Kursi Roda, Dedikasinya untuk Madrasah Menembus Batas

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Magelang – Meski tubuhnya terbatas di kursi roda, tapi semangat dan dedikasinya untuk madrasah menembus batas melampui keterbatasan fisiknya. Berbekal pengalamannya sebagai guru, ia terpanggil untuk membesarkan madrasah yang hampir saja digabung karena tidak kuat untuk menarik simpati hadirnya murid baru.

Sebagaimana diungkapkan pengurus Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Muntilan Muslih, melalui surat elektronik, Selasa (13/3/2017).

Muslih menyampaikan bahwa Ketua Komite Madrasah MI Adikarto Muntilan Muhammad Wahib, merupakan sosok yang sangat menginspirasi, yang mampu menggugah semangat guru-guru madrasah untuk terus berbenah menuju madrasah unggul sebagai sebagai penyelenggara pendidikan yang berkualitas.

Wahib melakukan semua aktivitasnya dari kursi roda. Kecelakaan maut menimpanya pada tahun 2005, saat hendak menunaikan tugasnya sebagai guru di SMAN 2 Grabag Kab. Magelang. Meski ia selamat dari kecelakaan, namun ia mengalami cacat permanen. Tubuh bagian bawahnya lumpuh sehingga harus menggunakan kursi roda untuk membantu aktivitasnya.

Terpanggil memperbaiki madrasah

Meski mengalami keterbatasan, semangatnya untuk dunia pendidikan tidak pernah surut. MI Maarif Adikarto, madrasah yang dibangun sejak 1970, seakan enggan mengikuti zaman. Bangunannya belum pernah mengalami perubahan. Jangan ditanya berapa jumlah muridnya, hanya ada 50 siswa dari kelas satu sampai kelas 6, artinya hanya sekitar 8 murid saja di tiap kelasnya.

Wahib menuturkan, “Jika bukan karena semangat meneruskan warisan orang tua yang telah bersusah payah mendirikan madrasah, madrasah ini sudah lebur, bergabung dengan madrasah lainnya. Melestarikan pendidikan di sekolah itu adalah ibadah.”

“Meski tak mampu berjalan, namun pikiran dan ucapan saya tetap bekerja dengan normal. Wajib bagi saya untuk tetap mengabdikan diri bagi masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Saya harus membantu MI ini supaya bangkit,” lanjutnya.

Wahib mengajak para tetangga dan tokoh-tokoh masyarakat untuk kembali menghidupkan MI Maarif Adikarto lewat komite madrasah, bahkan ia didaulat menjadi Ketua Komite. Sedikit demi sedikit perjuangannya membuahkan hasil.

Hal pertama yang dilakukannya adalah membenahi administrasi madrasah. Saat ini, administasi tertata dengan rapi dengan terwujudnya bank data secara lengkap. Dalam bidang pembelajaran, Wahib mengusulkan agar madrasah untuk membuat program unggulan yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan dibantu para alumni pondok pesantren, tiap pagi mulai jam 06.30 WIB, madrasah telah gemuruh dengan bacaan tartil Al Quran dan nadzom syiir berbahasa Arab, layaknya pesantren. Sekarang, suasana madrasah menjadi lebih hidup.

Meski jumlah siswanya belum banyak seperti yang Wahib harapkan, ia menyadari masyarakat perlu diberikan sosialisasi. Seiring peningkatan mutu madrasahnya, ia yakin kepercayaan masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya.

Prihatin dengan bangunan madrasah

Ketika MI Adikarto mendapatkan bantuan dari pemerintah, dia berangan-angan untuk merenovasi sekolah menjadi dua lantai, karena ia yakin suatu saat madrasah ini akan maju. Bantuan pemerintah ditambah sumbangan dari masyarakat segera diwujudkan. Namun karena dana sangat terbatas, akhirnya hanya mampu untuk membuat bangunan dak alias calon bangunan bertingkat, sementara bagian bawah masih kosong melompong tak ada dindingnya sama sekali.

Karena bangunannya belum bisa dihuni, siswa kelas 4 dan 5 harus belajar di serambi masjid. Sedang siswa kelas 6 belajar di rumah Wahib. Wahib, sebagai Ketua Komite merasa khawatir akan kondisi tersebut. “Bila sampai saat PSB (penerimaan siswa baru) belum bisa dipakai bangunannya, bagaimana mungkin sekolah ini akan mendapat siswa,” ujarnya.

Sampai saat ini, pembangunan masih berlangsung dengan bantuan dari para dermawan. Semangat Wahib memantik semangat masyarakat sekitar untuk terus mewujudkan fasilitas madrasah.

Mengutip apa yang disampaikan Wahib, Muslih mengatakan bahwa dunia pendidikan tidak selamanya identik dengan bangunan yang bagus, melimpahnya kesejahteraan, dan banyaknya fasilitas.

“Minimnya fasilitas janganlah mengurangi semangat dalam belajar. Semangat yang disertai keikhlasan, cinta kasih, budi pekerti luhur, keteladanan, dan kerja keras para guru dalam memberikan ilmu, itu yang akan senantiasa dikenang oleh para siswa. Semangat itulah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang tua untuk pendidikan anak-anaknya.” kata Muslih menirukan Wahib. (muslih-m45k-Af)