Semarang – “Topik berat soal moderasi beragama ini bukan hanya bagaimana kita beragama. Ini bukan soal domestic, ini termasuk dunia global karena akan berpengaruh langsung ke Indonesia,” ucap KH. Yahya Cholil Staquf yang merupakan narasumber utama dan yang paling di nantikan.
Pertama, kalau berupaya membangun strategi moderasi harus secara global, tidak bisa lokal. Kedua moderasi beragama bukan cuma masalah Islam saja, mestinya semua agama harus ada program moderasi. Hal ini dijelaskan Gus Yahya pada Kegiatan Seminar Penguatan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan Bagi Tokoh Agama di Jawa Tengah yang dilaksanakan di Hotel Patra Jasa Semarang ini diikuti oleh 135 orang yang terdiri dari 10 Kepala Bidang dan Pembimas pada Kanwil Kemenag Jateng, 35 Kepala Kantor Kementerian Agama Kab/Kota se Jawa Tengah, PCNU sebanyak 73 orang, PWNU 5 orang, PBNU 5 orang dan 8 orang peserta dari Kanwil Kemenag Jateng, Kamis, 28/4.
Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf yang hadir bersama Sekjen PBNU, Gus Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bersama jajaran, Rais Syuriah PWNU Jateng, KH Ubaidillah Shodaqoh dan Rais Syuriah Kab/Kota se-Jateng, Ketua PWNU Jateng, KH. M. Muzamil dan Ketua PCNU se-Jateng, Kepala Bidang dan Pembimas, juga Kepala Kantor Kemenag se-Jateng. Sedangkan yang hadir secara online, Dirjen Bimas Islam Kementag RI, Prof. Kamarudin Amin.
“Sebenernya kita butuhkan wacana tentang moderasi berbagai agama, jadi itu bukan hanya urusan Islam. Belakangan ini, sekitar 20an tahunan, memang Islam menjadi sorotan karena terorisme, sehingga banyak orang ngomong tentang moderasi Islam, seolah-olah Islam satu-satunya tertuduh,” ucap Gus Yahya.
Sudah ratusan ribu tahun perang menggunakan tameng agama, maka itulah sebenarnya ada Konfik identitas yang sendi utamanya adalah agama. Namun konfilik ini menjadi besar dan luas di abad 20 sehingga terjadi perang dunia pertama. Itu sudah campur aduk masalahnya, bukan agama saja, ada soal etnis, ras, ekonomi dan sebagainya. Yang jelas diuar sana terjadi konflik besar.
Gus Yahya menceritakan tentang terjadinya perang dunia II, korbannya, sebab dan akibatnya. Inilah yang membuat masyarakat dunia membuat konsensus baru. Tujuannya mencegah agar konflik seperti itu tidak terjadi lagi. Konsensus berupa Piagam PBB tanggal 26 Juli 1945, di Sanfransisko. Salah satunya hasilnya adalah terbentuknya batas negara, dan kesepakatan hak asasi manusia universal.
Dan yang perlu diketahui bahwa ini semua dibuat oleh pemimpin-pemimpin politik, dimana pemimpin agama dan ulama tidak terlibat. Paus dan pemimpin Islam saat itu tidak ikut tanda tangan saat hadirnya konsensus tersebut, dimana ini diputuskan dengan lahirnya PBB sebagai organisasi, Okt 1945.Kemuadian 1948 PBB menelurkan resulusi lebih eksplisit tentang hak asasi manusia.
“Dari ini kita bisa melihat bahwa konsensus politik internasional bukan sebagai wawasan agama, dimana semua kekacauan dunia yang universal ini mempunyai satu ujung yaitu kerukunan Bersama,” paparnya.
Penduduk dunia yang kira-kira 7 milyar orang ini, dimana muslim ada 1.8 m, sedangkan Kristen 2,9 m. Kalau mereka saling bermusuhan, bahkan tidak mungkin tanpa menimbulkan kehancuran semua pihak tanpa terkecuali. Maka wawasan keagamaan ini harus kita pikirkan ulang untuk keberlangsungan dunia.
“Kemudian Nahdlatul Ulama menandatangani rekontektualisasi wawasan Islam untuk perdamaian. Artinya membangun wawasan keagaman yang lebih ada kesesuaian dengan realitas yang kita hadapi bersama saat ini. Dan sebetulnya ini tantangan sejak lama, tahun 1989, tentang putusan muktamar NU, yaitu tentang fikih perlunya wawasan keagaman di kontektualisasikan dengan perkembangan zaman,” jelas Gus Yahya.
“Rekontektualisasi ini tujuannya adalah bagaimana kita akui bahwa dulu ada wawasan yang diskriminatif, wawasan agama yang mendorong konflik. Kita pelajari dulu kontekstualitasnya apa, kok sampai ada wawasan keagamaan yang semacam itu, baru kita bawa pada realitas sekarang,” ajaknya.(Sua/Bd)