Sikap Moderat Diperlukan Negara Majemuk, Seperti Indonesia

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Semarang – Dalam Rapat Kerja Kanwil Kementerian Agama tahun 2019 ini, yang diselenggarakan di Hotel Grand Candi Semarang, berlangsung selama 3 (Tiga) hari. Dimulai hari Rabu tanggal 13 Februari 2019 hingga Jumat, tanggal 15 Februari 2019.

Hari kedua Raker kali ini, Kamis (14/02), diisi oleh paparan mantan Dirjen Penyelenggaraan Haji Kemenag, Prof. Dr. Abdul Jamil, MA, dengan mengangkat tema moderasi beragama untuk kebersamaan umat. Kegiatan yang kali ini dimoderatori oleh H. Maksum, yang juga merupakan Kassubag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag Jateng.

Disampaikan bahwa sesungguhnya agama dimanapun juga pasti akan menyuruh pada kebaikan, tetapi umatnya yang acapkali memberikan tafsir radikal untuk menyelesaikan suatu masalah dan ini bersifat universal. Maka sikap moderat amat diperlukan, khususnya bagi negara yang memiliki kemajemukan warga negaranya, seperti halnya Indonesia kita ini.

“Maka Islam moderat dan Agama yang lain dituntut untuk moderasi itu penting. Moderat dalam arti mudahnya adalah tidak ekstrim atau berlebihan. Menurut hemat saya ujung tombaknya ada di tangan teman-teman Kementerian Agama,” ucap Jamil

Islam Ideal berbeda dengan Islam empirik, secara historis Islam ideal ada pada masa nabi, secara normatif ada dalam ajaran Qur’an.

“Sering kali terjadi sinisme karena melihat realitas empirik yang sering dipakai orang untuk memobilisasi kekerasan. Sedangkan Islam Ideal ada pada masa nabi, Islam ideal yaitu nilai-nilai dalam Al Quran,” ucap Jamil.

Islam historis penuh aneka warna, dari yang moderat hingga ekstrim. Kenyataan sosiologis terjadi pengelompokan atas dasar keyakinan ideologis. Tak jarang menjadi bibit konflik internal umat maupun eksternal.

“Sejarah membuktikan bahwa setelah nabi wafat, potensi konflik selalu mengintai,” lanjutnya.

Penyelesaian masalah secara radikal bukan pilihan terbaik tetapi akan menimbulkan persoalan baru yang mengancam kerukunan dan perdamaian umat manusia.

“Tantangannya adalah generasi millennial yang berpikirnya dekonstruksionis. Orang Kementerian Agama menjadi sangat penting karena berhadapan dengan problem utama di negeri ini, yaitu kerukunan dan perdamaian yang harus kita jaga, jangan sampai Agama membawa bencana,” tutupnya.

Diperlukan cara yang cerdas, terencana dan berjangka panjang untuk mencapai sasaran generasi muda. Sekaligus siap untuk berdialog dengan para pihak yang melakukan cara-cara radikal dalam berdakwah.(sua/sua)