E-Learning dan Blended Learning, Solusi Studi di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Oleh: M. Zubaedi,S.Ag/Guru Honorer MIN 3 Semarang

Pada era digital sekarang ini, belajar merupakan hal yang lebih mudah untuk dilakukan mengingat teknologi sangat memudahkan. Pembelajaran Jarak Jauh atau istilah lainnya adalah daring memerlukan platform aplikasi yang sesuai bukan hanya sekedar WAG (WhatsApp Group) yang tentunya bukan disetting untuk pembelajaran. WAG tidak dapat menampung RPP dan V-Conference guna tatap muka secara virtual yang memadai.

E-Learning Madrasah merupakan salah satu solusi yang mumpuni dimana fitur fitur  yang  disediakan  sudah  memenuhi  standar  guna  mendukung pembelajaran dimana tampilan yang user friendly layaknya Facebook sehingga mayoritas peserta didik dan wali peserta didik familier serta tidak terlalu sulit dalam adaptasi menunya. Dalam implementasinya memang masih diperlukan pembenahan mengingat mindset yang masih kental dengan nuansa text book centered sehingga belum begitu dapat menerima secara utuh pembelajaran yang berorientasi pada paperless centered.

Di era Industri 4.0 sekarang ini sudah seharusnya pembelajaran yang berbasis buku text diubah ke pembelajaran yang berbasis tanpa kertas atau paperless learning dimana semua sumber pembelajaran diubah ke digital dalam rangka penghematan sumber daya alam khususnya bahan baku kertas. Peserta didik dibiasakan untuk belajar menggunakan media elektronik (gadget) baik dari yang sederhana berupa handphone maupun yang canggih berupa netbook dan atau notebook.

Merdeka Belajar perlu disokong dengan asupan teknologi yang maksimal sehingga KBM tidak hanya Berpusat pada Guru (Teacher Centered) akan tetapi pembelajaran yang Berpusat pada Peserta didik (Student Centered) belajar anywhere (dimanapun) dan anytime (kapanpun) dapat diterapkan secara optimal. Belajar anywhere dan anytime inilah salah satu keunggulan dari e-Learning dari pembelajaran tatap muka secara fisik di kelas. Di era Pandemi seperti sekarang ini guru dituntut untuk selalu lebih kreatif, inovatif, dan solutif dengan kata lain pembelajaran memerlukan kreativitas, inovasi, dan solusi praktis seperti pemanfaatan YouTube yang dimaksimalkan bagi peningkatan pengetahuan peserta didik. Meskipun terdapat juga kekhawatiran mengenai link YouTube yang bagi sebagian orangtua dan guru berpotensi membuka peluang bagi aktivitas peserta didik dalam hal mengakses hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi. Dalam hal demikian, perlu disadari bahwa teknologi ibarat mata uang yang mempunyai dua sisi (baik dan buruk) atau dapat dikatakan sebagaimana pisau yang dapat berfungsi baik (contohnya : alat bantu memasak) akan tetapi juga dapat berfungsi buruk (contohnya : membunuh orang), maka hal yang harus dioptimalkan adalah menutup peluang akses pornografi dengan cara setting aman sehingga kekhawatiran yang berlebihan tidak perlu berlanjut. Jika kekhawatiran semacam ini berlanjut, tentunya semua media sosial (FacebookInstagramTik Tok, dan sebagainya) patut untuk ditutup rapat aksesnya bagi peserta didik sebab semua berpotensi berkaitan dengan pornografi. Pandangan seperti ini tentu kurang bijaksana dimana menutup segala kemungkinan bagi Merdeka Belajar dalam pemanfaatan teknologi yang mana tidak dapat dielakkan lagi di era Abad 21 ini. Pandangan seperti ini justru merugikan bagi pengembangan pengetahuan peserta didik. Belajar menggunakan internet (e-Learning) memang tidak terbatas ruang dan waktu akan tetapi bukan tanpa kekurangan sebab dengan tidak adanya guru sebagai pendamping, maka peserta didik tidak akan langsung mendapatkan feedback dan cenderung mengalami misunderstanding (salah pengertian). Kekurangan tersebut dapat ditutup dengan dipadukannya kedua metode yaitu e-Learning dan Pembelajaran di Kelas atau yang biasa disebut dengan istilah Blended Learning.

Salah satu hal yang membuat orangtua tertekan (stress) di era Pembelajaran Jarak Jauh seperti sekarang ini adalah kurang kreatifnya guru dalam menyampaikan pembelajaran dimana setiap hari guru hanya memberikan tugas dan tugas di WAG tanpa disertai penjelasan awal dan atau vidio pembelajaran terlebih dahulu. Contoh paling nyata adalah mata pelajaran matematika yang sangat memerlukan penjelasan sebelum peserta didik diharapkan untuk paham. Tidak dapat dipungkiri bahwa di era pembelajaran daring pendampingan orangtua mutlak diperlukan bahkan seringkali terdapat penyelewengan dengan alasan “efektifitas”, maka justru orangtua yang mengerjakan tugas dari peserta didik. Seringkali peserta didik malah tidak mengetahui tugasnya sama sekali sebab semua sudah dikerjakan secara menyeluruh oleh orangtuanya sehingga akhirnya mereka hanya bermain game saja setiap hari. Inilah salah satu dampak buruk dari Pandemi dimana peserta didik menganggap bahwa sekolah libur padahal sebenarnya yang terjadi adalah pembelajarah di rumah dengan bimbingan guru dan orangtua.

Setelah diperbolehkannya tatap muka dengan ketentuan 50% dari populasi peserta didik pun masih bermasalah dengan 50% peserta didik yang berada di rumah. Mereka menganggap bahwa tidak berangkat ke sekolah atau madrasah berarti libur sehingga merasa bebas dari tugas dan sibuk dengan bermain. Dalam kasus seperti inilah Blended Learning perlu untuk dilaksanakan sehingga baik peserta didik yang berkesempatan tatap muka maupun peserta didik yang berada di rumah semua mendapatkan porsi yang sama dalam hal pencapaian tujuan pembelajaran.

Di samping Merdeka Belajar dapat diartikan sebagai “pembebasan” guru dari administrasi yang bejibun sehingga ada istilah RPP satu lembar, di era Mas Menteri – sebutan untuk Mendikbud Nadiem Makarim – juga dipercepat kejelasan status bagi Guru Honorer dimana eks K-2 hampir dipastikan lolos pada seleksi PPPK dengan bantuan afirmasi yang layak mereka dapatkan mengingat pengabdian mereka yang memang sudah lama. Program Sertifikasi Guru juga diakselerasikan mengingat daftar antrian sudah begitu banyak, sebagai gambaran di instansi Kemenag saja sekisar 40-an ribu guru menunggu PPG di tahun ini. Kejelasan status diperlukan guna memicu semangat Guru Honorer yang disamping mereka harus fokus mengajar, mereka juga harus berjibaku dalam hal memikirkan kesejahteraan keluarga terutama Guru Honorer dengan status kepala keluarga dimana memberi nafkah merupakan suatu keniscayaan, sehingga tidak dapat dipungkiri konsentrasi dalam proses pembelajaran menjadi terpecah.

Sebagaimana diketahui bahwa beban mengajar guru adalah minimal 24 jam dimana makna tersurat adalah jam tatap muka guru di kelas minimal adalah 24 JTM sedangkan makna tersiratnya adalah guru wajib mencurahkan segala pemikiran sehari penuh – dengan kata lain 24 jam  guna kemajuan pendidikan khususnya di sekolah sendiri dimana guru mengajar dan secara umum dalam dunia pendidikan. Hal tersebut tidak mungkin terwujud jika guru hanya fokus pada jam kantor saja yaitu semua tugas hanya dikerjakan pada saat berada di sekolah atau madrasah yang di era Pandemi ini sangat terbatas yang tentu saja hal tersebut tidak berbanding lurus dengan semangat Merdeka Belajar dimana pembelajaran tidak terpaku pada ruang dan waktu sehingga belajar dimanapun dan kapanpun merupakan suatu keniscayaan. Merdeka Belajar sangat sejalan dengan era Abad 21 yang mana melalui internet (online) pembelajaran tidak terbatas pada saat peserta didik berangkat ke sekolah melainkan 24 jam mereka dapat akses pembelajaran baik berupa vidio pembelajaran maupun tugas lain yang sudah diunggah oleh guru melaui platform aplikasi pembelajaran (e-Learning) maupun melalui channel YouTube dan atau Google Classroom dan sebagainya. Peserta didik dan guru juga dapat terus berinteraksi melalui fasilitas vidio conference yang sudah disediakan secara gratis.

Sekolah dan atau madrasah adalah lembaga non profit sehingga semua kebijakan yang diambil seharusnya bukan berdasarkan pertimbangan bisnis agar tujuan pelayanan pendidikan kepada masyarakat menjadimaksimal. Kebijakan yang diambil berdasarkan pertimbangan bisnis contohnya adalah pembelian LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) dengan alasan mendapatkan fee dari penerbit sehingga kreatifitas guru menjadi mandheg alias stagnant sebab tidak berusaha untuk membuat LKPD (yang dulunya distilahkan dengan LKS atau Lembar Kerja Peserta didik). Hal ideal yang seharusnya dilakukan adalah mendorong para guru dalam pembuatan LKPD melalui pemberdayaan KKG (Kelompok Kerja Guru) dan atau MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Jika hal demikian tidak dilakukan, maka kreativitas guru akan mati secara pelan tetapi pasti dan rasa malas menjadi subur serta berkembang dimana hal tersebut tentu berlolak belakang dengan profesionalisme yang seharusnya selalu dipupuk dan dibina.

Menurut penulis, hal-hal yang menjadi kendala dalam pengembangan profesi adalah kurangnya kedisiplinan dan sifat malas. Dua hal tersebut menjadi problem paling serius dalam rangka mencapai tujuan pengembangan profesi. Kedisiplinan yang penulis maksud adalah tepat waktu dalam masuk kantor terutama

dimana belum ada ceritanya guru mengalahkan peserta didik dalam hal kedatangan di sekolah. Guru yang tidak disiplin waktu selalu ingin berangkatnya paling akhir akan tetapi pulangnya awal. Mereka merasa rugi jika berada di sekolah lebih awal dan pulangnya paling akhir. Mereka lupa bahwa pengabdian tidak seharusnya memperhitungkan waktu sebagaimana seorang buruh yang memang sepantasnya berbuat hal demikian (hitung-hitungan waktu). Hal tersebut diperparah dengan rasa malas dalam hal belajar untuk lebih maju terutama dalam hal pengembangan IT dimana membuat presentasi dari PowerPoint dan atau membuat vidio pembelajaran adalah hal yang sangat dihindari. Perangkat Pembelajaran hanya Copy dan Paste dari internet yang kadang-kadang mengeditnya saja secara sembarangan.

Hal-hal tersebut di atas tentunya sangat mengganggu dan tidak layak menyandang sebagai Guru Profesional dimana dituntut untuk melek teknologi dan memaksimalkan penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran sehingga KBM selalu berkembang dan menarik bagi peserta didik. Apalagi di era Pembelajaran Jarak Jauh seperti sekarang ini dimana kreatifitas dan inovasi diperlukan guna memahamkan peserta didik yang sudah merasa bosan dengan keadaan sehingga hal-hal baru diperlukan. Pembelajaran yang hanya berpaku pada buku sudah seharusnya ditinggalkan. Penelitian Tindakan Kelas perlu dilakukan guna mendiagnosa “penyakit” dalam pembelajaran.

Seringkali penciptaan lagu dan atau cerita bagi peserta didik dalam dunia pendidikan terasa kurang pas, contoh kasus adalah lagu Bangun Tidur dimana kata lanjutan setelah bangun tidur yang ideal – menurut penulis – adalah wudlu bukan mandi sebab bagi umat Islam khususnya, kewajiban yang utama setelah bangun tidur adalan wudlu. Jika bangun tidur lantas mandi, maka dapat diasumsikan bahwa peserta didik tersebut basah celananya alias ngompol. Bangun tidur lantas mandi lebih tepat bagi mahapeserta didik bukan peserta didik dimana mereka sudah paham akan arti “kedewasaan”. Contoh kasus cerita adalah Kancil Mencuri Timun (Kancil Nyolong Timun) dimana cerita tersebut dapat digolongkan sebagai cerita yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Kata mencuri akan membekas dalam benak peserta didik hingga mereka dewasa, sehingga tidak heran jika banyak orang Indonesia yang bergelar doktor bahkan profesor yang menjadi maling. Hal tersebut pernah diungkap mantan presiden Indonesia keempat (alm. KH. Abdurrahman Wachid atau Gus Dur) dimana gelar akademik yang berderet dari seseorang bukan jaminan akhlak atau karakternya dipastikan baik. Di situlah peran pendidikan agama yang bukan hanya sekedar fokus pada KI-3 (pengetahuan atau teori) melainkan harus lebih terpusat pada KI-4 (pratik atau sikap) dimana di era Pandemi hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan Pembelajaran Jarah Jauh yang mengedepankan pada aspek kedisiplinan dan kepatuhan pada guru. Pembelajaran daring lebih diutamakan pada pengembangan sikap dan karakter peserta didik yang dapat dipantau dari kesiplinan dan kepatuhan mereka pada pengerjaan dan atau pengiriman tugas.

Sebagaimana Tuhan menciptakan surga dan neraka sebagai reward and punishment untuk hambaNya, maka demikian halnya kita harus menerapkan “penghargaan dan hukuman” pada pembelajaran. Jangan sampai kita berat bahkan hanya untuk sekedar memberikan tepuk tangan dan atau pujian verbal sebagai penghargaan kepada peserta didik yang berhasil melakukan sesuatu. Kita seringkali hanya fokus pada punishment dengan mengesampingkan reward. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat pemberian TPG dimana salah satu maksud pemberian tunjangan sertifikasi adalah feed back pada pendidikan berupa “zakat” yang diwujudkan dalam pembelajaran. Seringkali guru sertifikasi memberikan nol rupiah pada dunia pendidikan yang tentunya hal tersebut berbanding terbalik dengan tujuan awal diberikannya Tunjangan Profesi Guru. Guru menganggap bahwa TPG merupakan pendapatan hasil jerih payah pribadi sehingga tidak ada sedikitpun feed back bagi dunia pendidikan dimana hal tersebut sangat diharapkan guna peningkatan mutu dan pelayanan.

Menurut penulis perlu dilaksanakan penelitian secara serius tentang seberapa besar pengaruh tunjangan sertifikasi pada dunia pendidikan. Adakah timbal balik yang sepadan dengan besarnya anggaran negara yang dikeluarkan. Perlu diberikan sanksi bagi Guser dengan kinerja buruk dan hanya fokus pada pendapatan dan meninggalkan pelayanan yang prima pada dunia pendidikan. Sanksi dapat berupa dicabutnya tunjangan dimana salah satu tujuan diberikannya adalah harapan akan adanya feed back yang sepadan. Pencabutan tunjangan merupakan salah satu alternatif yang efektif terutama bagi guru yang hanya fokus pada penghasilan dengan menganggap enteng tupoksinya sebagai guru bahkan mengajar dianggap sebagai sampingan dan fokus pada bisnis. Kita tidak dapat membayangkan hasil yang dicapai dalam pembelajaran dari seorang guru yang hanya fokus urusan bisnis bahkan di dalam kelas tak henti-hentinya menerima telpon berkaitan dengan hal-hal di luar pembelajaran. Mengajar hanya dianggap sebagai usaha sampingan yang tentu saja hal tersebut sangat berdampak buruk bagi peserta didik.

Pengalaman penulis sebagai operator lembaga selama sekitar satu dasawarsa yang sangat menyita waktu sebab di dalam kelas pun terkadang harus “membelah diri” dalam hal konsentrasi dimana hal tersebut tentunya mengurangi kefokusan dalam proses pembelajaran. Hal tersebut berkaitan dengan administrasi sekolah, bagaimana dengan urusan pribadi (baca : bisnis)? Tentunya tidak dapat diterima jika kita mengacu pada idealisme dalam KBM yang menuntut a hundred percent konsentrasi yang sebagai guru tentunya kita terikat dengan kode etik.

Tujuan Pendidikan Nasional tidak hanya untuk mencapai pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) saja sebab jika demikian halnya, maka akan menjadi seperti Barat yang hanya mengejar kemajuan dalam bidang sains dengan meninggalkan agama (imtak atau iman dan takwa) sehingga tidak heran jika mereka mengeksplorasi ruang angkasa dengan alasan mencari tempat tinggal bagi manusia selain bumi. Hal demikian tentu menjadi sesuatu yang miris sebab mereka menghabiskan jutaan dolar hanya untuk mencari tempat tinggal yang disinyalir lebih layak dari bumi. Padahal dana yang demikian besar dapat memberi makan sejumlah besar bagi penduduk bumi yang kelaparan. Terasa aneh pencarian tempat tinggal yang menghabiskan padahal banyak penduduk bumi yang kelaparan. Budaya tersebut dapat diistilahkan dengan budaya how without why (bagaimana tanpa mengapa). Mereka fokus pada usaha bagaimana agar sesuatu dapat diraih tanpa memedulikan mengapa hal tersebut harus dilakukan. Hal tersebut tentunya tidak seiring sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional dimana ingin mencapai manusia yang kaffah (manusia yang memanusiakan manusia lainnya). Prinsip “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” harus selalu dipegang kuat.

Budaya mengejar materi ansich laksana meminum air laut yang bukan menghilangkan melainkan menambah dahaga harus diiringi dengan pemenuhan kebutuhan ruhani sehingga tidak terjadi badan gemuk subur akan tetapi jiwanya kurus kering dengan kata lain raganya sehat tetapi jiwanya sakit atau faktanya kaya raya tetapi hakekatnya miskin melarat yang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Sifat egois (selfish) yang hanya mementingkan diri sendiri (wudele dhewe) harus diarahkan menjadi sifat empati dan peduli pada sesama. Budaya Jawa yang adiluhung dan mengedepankan pembentukan karakter seperti aja dumeh (jangan mentang-mentang), becik ketitik ala ketara (baik akan terlihat dan buruk akan kentara), dan luwih becik sing prasaja (lebih baik yang sederhana) harus disandingkan dengan budaya Barat yang positif seperti cinta kebersihan dan tepat waktu serta tidak mengenal jam karet. Budaya Barat menganggap bahwa mundur sekitar sepuluh menit dari jadwal sudah dikatakan terlambat, akan tetapi budaya kita terlambat hampir setengah jam masih dikatakan tepat waktu. Budaya bersih yang tidak senang “nyampah” patut ditiru oleh bangsa Indonesia serta budaya baca juga sudah sepantasnya untuk dibiasakan sebab literasi masyarakat Indonesia juga masih tergolong rendah. Dalam hal sampah, Indonesia juga masih menjadi penyumbang terbesar kedua di dunia berdasarkan data yang dipaparkan oleh The Economist Intelligence Unit tahun 2017. Budaya baca juga masih menjadi PR bersama, Unesco menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah dalam hal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001% yang artinya, dari seribu orang di Indonesia hanya satu saja yang rajin membaca.

Era Industri 4.0 yang bergerak menuju 5.0 mengharuskan perubahan paradigma lama seperti alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal terlaksana) dan gremat-gremet waton slamet (biar lambat asal selamat) menjadi cepet waton slamet (biar cepat asal selamat). Sabar tidak seharusnya diartikan dengan sikap statis melainkan dinamis. Filosofi ‘bisa karena biasa’ atau practice makes perfect sudah sepantasnya selalu diimplementasikan dan dipertahankan. Budaya leda-ledeudad-

Udud, dan leyah-leyeh harus diubah menjadi etos kerja yang tinggi, semangat ingin maju sebagaimana visi Indonesia Maju, berperilaku mandiri dan berprestasi, serta berani bersaing atau bermental juara. Bukan hal yang aneh jika pada jaman dahulu di era berkirim surat via pos dimana berkirim surat akan sampai di tempat tujuan dalam hitungan hari bahkan minggu akan tetapi di era surat elektronik (e-mail atau electronic mail), maka kiriman surat sampai di tempat tujuan dalam hitungan menit bahkan detik meskipun antar negara maupun lintas benua.

Tulisan ini tentunya jauh dari kata sempurna akan tetapi setidaknya dapat dijadikan sebagai trigger dalam memicu semangat memberikan pelayanan berupa pembelajaran yang sepadan dengan besarnya tunjangan yang telah diberikan. Jangan sampai predikat profesional hanya terbatas pada penghasilan saja tetapi dalam hal profesionalitas jauh dari kata ideal. Tentunya saran, kritik, dan masukan sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Tulisan ini juga penulis tujukan yang pertama bagi penulis pribadi sebab prinsip ibda’ binafsik (mulailah dari diri sendiri) merupakan prinsip yang penulis pegang. Di Hari Ulang Tahun PGRI ini menjadi momen yang tepat dalam me-refresh kembali semangat pengabdian kita sebagai guru yang perannya sangat dominan dalam maju mundurnya bangsa Indonesia di masa depan. Saat inilah bangsa Indonesia sedang diukir sebab pendidikan merupakan pilar utama dalam peradaban suatu bangsa. Marilah kita jadikan masa lalu sebagai pembelajaran, masa kini sebagai perjuangan, dan masa depan sebagai pengharapan. Dirgahayu PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang Ke-76 dan Selamat Hari Guru Nasional Tahun 2021.(/Sua)