Melestarikan Nilai Ibadah Bulan Ramadan

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Bulan Ramadan telah berlalu. Setelah bulan penuh berkah ini kita akhiri, bukan berarti berakhir sudah suasana ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini justru menjadi tugas berat kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadan itu dengan peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Bulan sesudah Ramadan adalah Syawal yang artinya peningkatan. Di sinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai ibadah Ramadan. Lalu apa yang kita harus perbuat pasca Ramadan ini? Setidaknya ada lima nilai ibadah Ramadan yang harus kita lestarikan, antara lain :tarikan, antara lain:

1. Tidak mudah berbuat dosa

Ibadah Ramadan yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya membuat kita telah mendapatkan jaminan ampunan dari dosa-dosa yang kita perbuat selama ini. Oleh karena itu sudah semestinya setelah melewati ibadah Ramadan, kita tidak mudah melakukan perbuatan yang bisa bernilai dosa, apalagi secara harfiyah Ramadan artinya membakar, yakni membakar dosa. Kalau dosa itu kita ibaratkan seperti pohon, maka kalau sudah dibakar, pohon itu tidak mudah tumbuh lagi, bahkan bisa jadi mati, sehingga dosa-dosa itu tidak mau kita lakukan lagi.

Dengan demikian, jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadan itu hanya sekedar menahan diri  untuk selanjutnya berbuat dosa lagi sesudah Ramadan berakhir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar. Kalau demikian jadinya, maka ibarat pohon, hal itu bukan dibakar, tapi hanya ditebang sehingga satu cabang ditebang tumbuh lagi tiga, empat bahkan lima cabang beberapa waktu kemudian.

Kaitannya dengan dosa, sebagai seorang muslim jangan sampai kita termasuk orang yang bangga dengan dosa, apalagi kalau mati dalam keadaan bangga terhadap dosa yang dilakukan. Bila ini yang terjadi, maka sangat besar resiko yang akan kita hadapi dihadapan Allah SWT. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf (07):40 berikut ini:

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka bisa masuk ke dalam syurga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan”.

2. Hati-hati dalam bersikap dan bertindak

Selama beribadah di bulan Ramadan, kita cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Hal itu karena kita tidak ingin ibadah Ramadan kita menjadi sia-sia dengan sebab kekeliruan yang kita lakukan. Secara harfiyah, Ramadan juga berarti mengasah, yakni mengasah ketajaman hati agar dengan mudah bisa membelah atau membedakan antara yang haq dengan yang batil.

Ketajaman hati itulah yang akan membuat seseorang menjadi sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidupnya, seorang muslim tidak asal  melakukan sesuatu, apalagi sekedar mendapat nikmat secara duniawi. Kehati-hatian dalam hidup ini menjadi sangat penting mengingat apapun yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu apa yang hendak kita lakukan harus kita pahami secara baik dan kita pertimbangkan secara matang, sehingga tidak sekedar ikut-ikutan dalam melakukannya. Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya surat Al-Isra’ (17):36 sebagai berikut:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

3. Bersikap jujur dalam kehidupan

Ketika kita berpuasa Ramadan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah SWT yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau  membohongi diri sendiri apalagi membohongi Allah,  karena hal itu memang tidak mungkin. Inilah kejujuran yang sesungguhnya. Maka dari itu, setelah berpuasa sebulan Ramadan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam perbuatan, maupun jujur dalam berinteraksi dengan oranglain, dan segala bentuk kejujuran lainnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita sekarang ini, kejujuran merupakan sesuatu yang sangat diperlukan. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak selesai-selesai karena tidak ada kejujuran. Orang yang bersalah sulit untuk dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari pembuktian memerlukan waktu yang panjang. Padahal kalau yang bersalah itu mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa selesai.

Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai bahkan tuduh menuduh yang menjadikan persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam. Apabila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita, maka nilai pendidikan dari ibadah Ramadan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

4. Memiliki semangat hidup berjamaah

Kebersamaan kita dalam proses pengendalian diri membuat setan merasa kesulitan dalam menggoda manusia sehingga setan menjadi terbelenggu pada bulan Ramadan. Hal ini diperkuat lagi dengan semangat yang tinggi bagi kita dalam menunaikan salat yang lima waktu secara berjamaah sehingga di bulan Ramadan inilah mungkin shalat berjamaah yang paling banyak kita lakukan, bahkan melakukannya juga di masjid atau musalla. Disamping itu, ibadah Ramadan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas sosial kepada mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itupun sudah kita tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan.

Karena itu, semangat berjamaah kita sesudah Ramadan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian, sehebat apapun kekuatan dan potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat memerlukan pihak lain. Itu pula sebabnya, dalam konteks perjuangan Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjamaah, yang saling kuat menguatkan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat As-Saff (61):4 berikut ini:

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh”.

5. Melakukan pengendalian diri

Puasa Ramadan adalah pengendalian diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum dan nafsu syahwat. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok itu semestinya membuat kita mampu mengendalikan diri dari kebutuhan kedua dan ketiga, bahkan dari hal-hal yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali. Namun sayangnya, banyak orang telah dilatih untuk menahan makan dan minum yang sebenarnya pokok, tapi tidak dapat menahan diri dari hal-hal yang tidak perlu. Sekalipun kita sangat menginginkan sesuatu, karena itu perbuatan batil, maka kita harus bisa mengendalikan diri.

Kemampuan kita mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang amat mendesak, bila tidak, kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak ada lagi pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak. Yang jelas, selama manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar, tidak sepantasnya dan sebagainya. Bila ini yang terjadi, apa bedanya kehidupan manusia dengan kehidupan binatang, bahkan masih lebih baik kehidupan binatang, karena mereka tidak diberi potensi akal. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf (7):179:

“Dan sungguh Kami sediakan untuk isi neraka jahannam penghuninya kebanyakan dari jin dan manusia, yaitu mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

Dengan demikian, harus kita sadari bahwa Ramadan adalah bulan pendidikan dan latihan. Keberhasilan ibadah Ramadan justru tidak hanya terletak pada amaliyah Ramadan yang kita kerjakan dengan baik, tapi yang juga sangat penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan takwa yang dimulai dari bulan Syawal ini hingga Ramadan tahun yang akan datang.(m45k/Sua)

Tulisan ini disusun sebagai naskah bimbingan penyuluhan yang diambil dari berbagai sumber. Dipresentasikan oleh Azizah Herawati, S.Ag.,M.S.I., Penyuluh Agama Ahli Madya Kecamatan Candimulyo, Kankemenag Kabupaten Magelang pada Kajian Rutin “Mutiara Hikmah” Radio Gemilang 96,8 FM, Kabupaten Magelang pada hari Kamis, 12 Mei 2022