Renungan Ramadhan
Oleh: Achmad Syalabi
Sebagai seorang muslim yang bertaqwa, yang paling utama kita lakukan dengan datangnya bulan suci Ramadhan adalah bersyukur kepada Allah SWT, karena kita masih diberi kesempatan berjumpa dengan bulan yang penuh rahmat dan maghfirah. Bagaimana tidak, Rasul panutan kitapun selalu mempersiapkan secara khusus dalam menyambut hadirnya bulan Ramadhan.
Di saat Ramadhan, pintu kebaikan dibuka selebar-lebarnya dan pintu keburukan ditutup rapat-rapat. Satu hal yang tidak kita ragukan bahwasannya berjumpa dengan bulan Ramadhan adalah nikmat yang besar, nikmat yang sangat mulia yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita. Dan kita tidak tahu, boleh jadi Ramadhan ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita. Namun kita berharap, semoga kita dapat dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun depan.
Oleh karena itu menjadi kewajiban kita sebagai seorang Muslim yang menyadari hal ini untuk meningkatkan kesungguhan kita dalam mengisi bulan Ramadhan dengan berbagai macam ibadah dan amal shalih.
Dan untuk menunjukkan istimewanya bulan Ramadhan, bahwasannya dia adalah tamu yang agung, tamu yang mulia dan nikmat yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mengisi Ramadhan dengan penuh keseriusan, yaitu dengan puasa yang berkualitas, yang menyebabkan seseorang mendapatkan pahala menyaingi pahala yang didapatkan oleh orang yang mati syahid.
Puasa Ramadhan merupakan sebuah wahana penggodokan bagi umat Islam. Dengan puasa, seorang muslim dituntut untuk bisa mengendalikan tuntutan biologisnya, hal itu karena kondisi fisik orang yang berpuasa akan berbeda dengan kondisi fisik saat ia tidak berpuasa. Saat berpuasa, seseorang cenderung akan lemas, malas, dan mengantuk. Namun justru di situlah letak tantangannya. Seberapa jauh seseorang yang berpuasa mampu menaklukkan tuntutan biologisnya tersebut sehingga tidak mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari. Ia tetap bisa bekerja dengan bersemangat, tadarus Al-Qur’an tanpa mengantuk, melaksanakan tarawih tanpa merasa lelah, dan bersedekah dengan ikhlas.
Di hari-hari pertama berpuasa, tentu wajar jika pengaruh biologisnya masih sangat kuat terjadi dalam diri orang yang berpuasa. Ia akan merasa haus, lapar, lemas, kehilangan gairah, dan mengantuk. Kondisi tersebut membuat kita akan malas untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Namun setelah beberapa hari kemudian, kondisi fisik orang yang berpuasa mulai menyesuaikan diri. Mestinya, ia sudah mulai bisa mengendalikan pengaruh fisik akibat puasa. Ia tidak lagi tersiksa oleh rasa kantuk, lapar, haus, dan lemas.
Namun jika setelah lewat 10 hari berpuasa, ia masih saja tidak bisa mengendalikan rasa haus, lapar, lemas, dan mengantuk tersebut, maka berarti ia belum berhasil menjalani masa penggodokan oleh Tuhan. Ia belum mencapai level manusia yang bisa mengendalikan diri dari kekuasaan nafsu biologis dirinya. Disinilah letak urgensinya mengapa Nabi Muhammad bersabda, bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun yang ia dapatkan hanyalah lapar dan dahaga.
Puasa Ramadhan adalah momentum yang disediakan oleh Allah agar umat Islam belajar manajemen waktu. Ia harus bisa mengisi waktu Ramadhan dengan hal-hal yang positif seperti tarawih, tadarus, shalat tahajjud, menyiapkan hidangan berbuka, menyiapkan hidangan sahur, dan bekerja mencari nafkah seperti biasanya. Jika seseorang yang berpuasa namun tidak dapat melakukan manajemen waktu yang baik, maka ia pun akan kehilangan banyak kesempatan dengan sia-sia. Misalnya jika hanya terfokus pada menyiapkan hidangan sahur, maka ia akan kehilangan banyak waktu untuk istirahat, sehingga ia pun kelak menjadi mengantuk dan lemas. Jika sudah demikian, ia pun kehilangan kesempatan untuk tadarus Al-Qur’an, mengikuti pengajian-pengajian keagamaan, membaca buku-buku keagamaan, dan lain-lain.
Jika seseorang menghabiskan banyak waktunya untuk terjaga di saat malam, tanpa melakukan hal-hal positif, seperti tadarus Qur’an dan shalat malam, maka ia pun akan kehilangan banyak waktu istirahat. Tak pelak, pada saat siang hari ia pun akan banyak menghabiskan waktu dengan tidur karena dibelenggu oleh rasa kantuk yang luar biasa. Jika seseorang yang berpuasa hanya menghabiskan banyak waktu untuk tidur di siang hari, maka sesungguhnya ia berarti telah menyia-nyiakan kesempatan emas untuk meraih pahala dan ridha dari Allah SWT. Betapapun, dalam setahun, Allah hanya menyediakan waktu sebulan untuk Ramadhan, dan ia merupakan bulan yang lebih baik daripada seribu bulan.
Puasa Ramadhan merupakan wahana bagi umat Islam untuk menunjukkan kepada masyarakat umum, terutama bagi yang non Islam, bahwa meski dalam keadaan berpuasa, umat Islam tetap bisa produktif dalam bekerja dan bisa beribadah dengan khusyuk tanpa mengganggu ketenteraman orang lain. Di sisi lain, tetap bekerja secara produktif dalam kondisi berpuasa merupakan manifestasi empati terhadap kelompok orang-orang marjinal yang harus tetap bekerja meski mereka berada dalam himpitan lapar dan dahaga.
Namun betapapun demikian, kondisi manusia tentu berbeda-beda. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, tingkatan puasa ada tiga, yaitu puasa orang umum, puasa orang khusus, dan puasa orang super khusus (khushushul khushush). Puasa orang umum adalah hanya sekedar mencegah keinginan perut dan kemaluan, yaitu makan, minum, dan berhubungan badan. Puasa orang khusus adalah mencegah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari seluruh perbuatan dosa. Puasa orang super khususadalah puasa hati dari hasrat-hasrat rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta mencegah dirinya dari berpikir selain Allah. Jenis puasa ketiga ini memang tingkatan puasa tertinggi yang hanya bisa diraih oleh para nabi, para wali, dan orang-orang yang betul-betul telah dekat dengan Allah. Berangkat dari klasifikasi puasa menurut al-Ghazali tersebut, pada gilirannya, manusia sendiri yang akan mencari dan menemukan makna dan hakikat puasa yang seharusnya ia pahami dan bisa membuat kualitas hidupnya menjadi lebih berarti.
Puasa adalah wahana untuk mensinergikan dua kutub kepribadian manusia. Saat seseorang cenderung kepada kutub lahiriah dan legalistik, ia akan diperdaya oleh tuntutan biologis dirinya. Pada kutub ini, ia tidak akan menemukan makna hakiki puasa. Ia tetap akan merasakan siksaan lapar dan haus. Sementara di kutub lain, jika seseorang cenderung kepada kutub spiritual substansial saja, ia akan menjadi menara mercusuar yang terasing kehidupan sosialnya. Ia akan terlena oleh kedekatan dengan Tuhan lantas tidak kembali kepada kehidupannya sebagai makhluk sosial. Ia asyik untuk tarawih, tadarus, dan tahajud, tapi lupa untuk berzakat dan bersedekah. Karena itulah, puasa mengajarkan kepada kita untuk mendekati kepada Tuhan sekaligus mendekati manusia. Ia berusaha menggapai kesalehan individual seiring dengan kesalehan sosial.
Marhaban Ya Ramadhan, selamat menunaikan shaum Ramadhan, semoga kita senantiasa diberikan kekuatan dan keistiqomahan untuk menjalankan amal ibadah selama sebulan penuh serta meraih predikat muttaqin.(S)