Surakarta – “Revolusi Mental yang sudah diinstruksikan oleh presiden sekarang tinggal kita bagaimana mengaktualisasikan apa yang diinginkan oleh pemerintah kita”. Demikian disampaikan Pardi, Koordinator Penyuluh Agama Islam Non PNS, mengutip pernyaataan Kepala Kantor Kemenag Kota Surakarta, Musta’in Ahmad pada pembinaan pegawai di Kementerian Agama Kota Surakarta beberapa hari sebelumnya, dalam Rapat penyuluh Non PNS, di Aula KUA Jebres, Selasa (2/4).
Pardi melanjutkan, revolusi mental sudah tertuang dalam instruksi presiden No.12 tahun 2016. Didalam revolusi mental itu, terdapat lima program yang antara lain Indonesia melayani. Dalam program ini, Pardi menjelaskan jika kita termasuk orang di kementerian agama, kita juga punya tanggung jawab untuk bisa melayani masyarakat sesuai dengan bidang kita masing-masing. Sesuai dengan tupoksi kita masing-masing. Istilahnya, pelayanan yang baik, pelayanan yang memuaskan klien, masyarakat, pelayanan yang memuaskan pelanggan.
“Apabila masyarakat membutuhkan, kita harus totalitas memberikan yang terbaik untuk mereka, untuk masyarakat itu. Artinya kita itu melayani, sekecil apapun andil kita didalam kita berbuat baik di Negara kita, ini sudah termasuk kontribusi yang luar biasa”, tegas Pardi.
“Diawali dengan yang kecil, insya Alloh nanti sampai yang besarpun akan baik. Seperti halnya Negara ini harus diawali dengan rumah tangga-rumah tangga yang baik, rumah tangga yang harmonis, ditingkat atasnya akan harmonis dan baik”, lanjutnya.
Selain itu kitapun harus mempunyai kreatifitas dan kepercayaan diri, termasuk saat berceramah untuk berdakwah. Pardi mencontohkan, kalau akan ceramah dan kita tidak punya materi, kita pasti tidak percaya diri.
“Kita harus punya kreativitas terutama dalam menyampaikan materi di kalangan majelis taklim, atau khotib dan sebagainya, siapkan semaksimal mungkin dan kuasai semaksimal mungkin sehingga kita menyampaikan itu pede”, jelas Pardi.
Selanjutnya bagaimana kita bisa memposisikan kita di masyarakat untuk bisa menyejukkan masyarakat. Caranya adalah dengan kita mengambil jalan tengahnya. Misalnya ada dua organisasi yang tidak bisa saling bertemu dan kita posisi berada di tengah. Kita cari bagaimana supaya bisa bertemu dan mestinya ada titik temunya.
“Walaupun ada titik-titik yang memang itu tidak bisa ketemu. Misalkan dikalangan nahdliyin NU Tahlilan. Dikalangan MTA anti tahlilan. Didalam titik itu tidak bakalan ketemu. Sampai kita berbeda pendapat juga tidak bisa ketemu. Tapi ada titik yang bisa kita temukan. Yang bisa kita jadikan titik temu,” ujar Pardi.
Pardi menambahkan, “Ini termasuk tantangan kita sekalian, saat ini bagaimana kita bisa menunjukkan perbedaan pra pilpres dan juga pascanya. Kita diminta karena kita bagian dari pemerintah,bagian dari kementerian agama kalau bisa jangan kita tonjolkan apa yang jadi pilihan kita,” Terkadang karena beda pilihan maupun madzhab, kita jadi kurang nyaman. Ada rasa yang mengganjal di hati. “Tugas kita adalah bagaimana kita membuat nyaman sejuk, itu tugas kita”, pungkasnya. (sholeh-rma/bd)