Oleh: H. Khamdani, S. Ag, M. SI
Mengajak untuk melakukan kebaikan dan mencegah untuk meninggalkan keburukan (kemunkaran) kepada orang lain dalam bahasa agama disebut dengan “Dakwah”. Kata “Dakwah” merupakan bentuk masdar dari kata yad’u dan da’a yang bermakna: memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong, dan memohon.
Setiap kita memiliki kewajiban untuk mengajak (berdakwah) pada hal-hal yang menuju kebaikan dan mencegah adanya keburukan (kemunkaran), tentunya sesuai dengan kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi kita masing-masing. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al Qur`an Surat An-Nahl ayat 125, yaitu:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menjelaskan tentang perintah kepada setiap diri manusia untuk mengajak kebaikan dan mencegah keburukan (kemunkaran) dengan cara-cara bijak (hikmah). Kata Hikmah bermakna : kebijaksanaan, sesuatu yang mengandung rasa cinta, kasih sayang, dan ungkapan yang mengandung kata-kata bijak, kata-kata yang tidak melukai perasaan orang lain. Oleh karenanya, jika ada seseorang yang berdakwah tanpa melakukan caci maki, tanpa menyudutkan pihak yang lain, serta tanpa mempermasalahkan persoalan yang sudah menjadi furu’iyah, maka sejatinya ia sudah berdakwah sesuai dengan firman Tuhan. Begitupun sebaliknya, jika masih ada pribadi manusia yang mengajak penuh dengan caci maki, hujatan, umpatan-umpatan yang tidak perlu, serta kedengkian kepada pihak lain, itu artinya ia belum masuk kedalam kategori dakwah sebagaimana firman Tuhan QS an-Nahl 125.
Menyampaikan pesan-pesan agama harus disampaikan dengan cara-cara hikmah (bijak), sampai-sampai Allah SWT dalam sebagian firman-Nya mewanti-wanti kepada kita agar tidak terjebak dalam kesombongan diri dalam hal mengajak (berdakwah). Allah SWT berfirman dalam Al Qur`an Surat Al-Hujurat ayat 11 :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun, baik pada masa periode Makkah maupun Madinah di dasarkan pada cara-cara yang penuh hikmah. Kita tentu ingat bagaimana mulianya Nabi kita, suatu hari Rasulullah Muhammad SAW mendapati rombongan yang mengangkut jenazah lewat di hadapan beliau. Nabi pun berdiri menghormati. Sahabat beliau segera memberi tahu dengan nada seolah protes, “Itu jenazah orang Yahudi.” “Bukankah ia juga manusia?” sahut Rasulullah.
Dialog singkat ini bisa dijumpai dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari. Hadits tersebut diceritakan dalam konteks ketika suatu hari Sahal bin Hunaif dan Qais bin Sa’ad sedang duduk di daerah Qadisiyah, tiba-tiba lewatlah jenazah di hadapan keduanya, lalu keduanya pun berdiri. Dikatakan kepada mereka berdua bahwa jenazah itu adalah ahlu dzimmah, warga non-Muslim yang baik. Lalu keduanya menceritakan sikap Rasulullah terhadap jenazah Yahudi itu. Pemberitahuan sahabat kepada Nabi bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi bisa dimaklumi mengingat ketika itu sebagian orang Yahudi memusuhi dakwah Rasulullah. Mungkin para sahabat penasaran dengan alasan Rasulullah menaruh hormat pada jenazah apalagi diketahui bukan orang Islam. Rasulullah menjawabnya dengan pertanyaan retoris, “Bukankah dia manusia (nafs)?” Dengan jawaban semacam ini Rasulullah seakan mengingatkan para sahabat bahwa setiap manusia layak mendapat penghormatan, terlepas dari apa latar belakang sosial dan agamanya, bahkan ketika manusia itu sudah terbaring menjadi mayat.
Menjadi satu realita bahwa ajakan (dakwah) Nabi penuh bijaksana. Karena dari salah satu sikapnya yang begitu mulia itulah maka tak heran dakwah Islam pada jaman Nabi begitu sangat mengesankan dan mampu membumi dengan begitu cepat dan meluas.
Pada suatu saat di kisahkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah membalas perbuatan buruk yang menimpanya kepada siapa pun. Bahkan meskipun disakiti, beliau tetap mendoakan orang yang menyakitinya. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut:
عن أبي عبد الله الجَدَلِي قال: سألتُ عائشة -رضي الله عنها-، عن خُلُق رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فقالت:«لم يكن فاحِشًا ولا مُتَفَحِّشًا ولا صَخَّابًا في الأسواق، ولا يَجْزي بالسيئةِ السيئةَ، ولكن يَعْفو ويَصْفَح
Artinya : Dari Abu Abdilah al-Jadali RA dia berkata, “Saya berkata kepada Aisyah, ‘Bagaimana sikap Nabi terhadap keluarganya?’ Aisyah menjawab, “Dia adalah orang yang paling terpuji. Rasulullah tidak pernah bersikap dengan buruk, kasar atau berteriak di tengah pasar. Dia tidak akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Tapi dia memaafkan dan memaafkan hal-hal buruk yang ditujukan kepadanya secara pribadi.” (HR Imam Ahmad).
Dari dua contoh peristiwa ini, rasanya lebih dari cukup kita diingatkan, bahwa titik temu dan tujuan dari setiap ajakan (dakwah) itu adalah kemanusiaan. Oleh karena itu, di jaman mudahnya mobilitas manusia, persinggungan lintas iman yang begitu mudah, selain tetap mendakwahkan nilai esensial agama kepada sesama komunitas iman, kita juga dituntut untuk terus mendakwahkan pentingnya dalam menjaga peradaban, kemanusiaan, dan keselamatan lingkungan antar lintas iman. Jika tidak demikian, itu artinya dalam hidup beragama kita telah menghilangkan karakteristik utama Islam dengan tidak menjadikan kebajikan (hikmah) sebagai landasan dalam berdakwah. Alhasil, kiranya inilah makna dari ayat QS Ali-Imran ayat 159 :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Itulah cara Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan ajakan, berdakwah kepada sesama umat Islam dan kepada komunitas umat manusia tidak se agama, mestinya menjadi pijakan, pegangan utama, terutama bagi para pendakwah. Wallahu `Alam.