Semarang – Pendidikan seksual pada anak saat ini dipandang penting, karena maraknya kekerasan dan pelecehan seksual yang diterima anak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan pendidikan. Namun demikian, penyampaiannya memerlukan metode yang tepat.
Fenomena ini menjadi salah satu agenda bahasan Badan Koordinasi Lembaga Pendidikan Alquran (Badko LPQ) Kota Semarang, dalam kegiatan Pembinaan Asatidz yang diselenggarankan pada Rabu (30/11/2022) di kantor sekretariat, yang berlokasi di Jalan Dewi Sartika Timur XIV.
Dalam sambutannya, Ketua Badko LPQ Kota Semarang, Bahrul Fawaid menyampaikan, kegiatan pembinaan bagi Asatidz dilakukan secara rutin setiap bulan, dengan tema yang berbeda-beda dan aktual. Hal ini dimaksudkan guna menjaga komitmen pengembangan diri Asatidz. “Pada pembinaan kali ini, kami mengusung tema Pendidikan Seksual pada Anak, “ tuturnya.
Ia pun menerangkan latar belakang pemilihan tema tersebut. “Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi dan dikaitkan dengan lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, memaksa kita untuk melihat bahwa ada Indikasi hubungan yang perlu diolah di dunia pendidikan, tentunya dengan langkah-langkah pencegahan, agar kasus kekerasan seksual pada anak di Kota Semarang tidak terjadi,” ujarnya.
“Akan tetapi, metode dalam memberikan pendidikan seksual pada anak harus tepat, serta perlu pembangunan pola komunikasi yang baik di lingkungan pendidikan,” imbuhnya.
Ia berharap, di Kota Semarang tidak terjadi kasus kekerasan seksual pada anak, utamanya di dunia pendidikan. “Semoga kasus kekerasan seksual pada anak tidak terjadi di kota Semarang,” harapnya.
Dalam kegiatan tersebut, dihadirkan pula narasumber, Hj. Arikha, pakar psikologi anak, yang dalam penyampaian materinya menuturkan, terdapat 10.727 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama periode 1 Januari – 23 Juni 2022, sedangkan korban kejahatan pada anak selama periode Januari –Mei 2022 ada sebanyak 2.267.000 kasus. “Miris bukan jika kita melihat angka tersebut? Prosentase terbesar pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki, kenapa demikian? Karena dalam diri laki-laki terdapat norma maskulinitas, ketidakcakapan relasional, kekuasaan dan privilege,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, penanganan kekerasan seksual telah diatur dalam Pancasila Sila ke-2, UUD 45, UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga), UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, Permendikbudristek PPKS, Permendikbud No. 82 Tahun 2015, Persesjen Kemendikbudristek Nomor 17 tahun 2022, Permendisbudristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi, Permenag RI Nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satan Pendidikan pada Kementerian Agama.
“Hingga saat ini, salah satu pemicu kekerasan seksual pada anak yaitu kurang tepatnya pola asuh orang tua. Sebagian besar kasus kekerasan seksual pada anak, pelakunya adalah orang terdekat. Hal ini disebabkan karena pelaku kurang memiliki pemahaman akan agama dan kurang iman. Mengapa bisa terjadi? Salah satunya karena pernikahan dini yang mengakibatkan kurang matangnya mental orang tua dalam membangun biduk rumah tangga,” ungkapnya.
“Pemicu lainnya adalah pelaku menjadi korban perceraian orang tuanya, stres karena pandemi, salah pergaulan, serta minimnya pemahaman parenting,” beber istri Rektor UIN Walisongo Semarang tersebut.
Di akhir materinya, ia menerangkan cara mengedukasi anak guna mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah dengan mengajarkan nilai-nilai agama sekaligus keteladan dalam keseharian. “Perkenalkan fungsi organ tubuh dengan sebutan yang sebenarnya, kenalkan bagian tubuh intim dan sangat pribadi yang orang lain tidak boleh melihat, memotret dan menyentuhnya. Tumbuhkan keberanian menolak pada anak jika dia diperlakukan tidak baik oleh seseorang. Biasakan memakai pakaian yang tidak terlalu terbuka untuk menghindari tindakan yang tidak diinginkan. Ajarkan pada anak untuk keluar dari situasi yang menakutkan atau tidak nyaman,” jelasnya.
“Beberapa anak merasa tidak bisa mengatakan “tidak” kepada orang lain apalagi jika itu teman sebaya atau yang lebih tua (senior atau orang tua). Perlu ditekankan kepada anak-anak, bahwa penolakan itu berlaku untuk siapa saja, bahkan orang terdekat. Bangun komunikasi harmonis dengan anak, agar anak memiliki keterbukaan dengan orang tua,” tandasnya.
Pada kegiatan itu pula, Badko LPQ Kota Semarang melakukan penggalangan donasi peduli bencana gempa Cianjur.(Agus Haryadi/NBA/bd)