Ungaran – Yang disebut buta huruf di abad ke-21 bukan lagi orang yang tidak bisa baca tulis, namun mereka yang tidak bisa belajar (learn), tidak bisa menanggalkan ilmu yang tidak relevan (unlear) serta tidak mau belajar kembali (relearn). Karenanya, sebagai agen perubahan di instansi pendidikan, guru harus selalu berupaya meningkatkan kemampuan literasinya baik literasi baca tulis, literasi digital, literasi sains dan lainnya guna mendukung keberhasilan pendidikan khususnya mata pelajaran PAI.
Demikian disampaikan oleh pengawas PAI tingkat menengah pada Kankemenag Kab. Semarang, Nur Solichah mengutip pernyataan penulis dan futurolog Amerika, Alvin Toffler saat memberikan pembinaan di SMK NU Suruh, Kamis, (26/8).
Nur Solichah menyampaikan bahwa guru adalah sosok panutan semua hal. Apapun aktifitas guru baik di sekolah maupun di luar sekolah, akan dicontoh oleh para siswanya. Untuk itu pihaknya berpesan agar para guru selalu memberikan teladan bagi siswanya dalam hal pengembangan budaya literasi, kapanpun dan dimanapun.
“Kemampuan guru menulis akan sangat berpengaruh terhadap gairah peserta didiknya dalam berliterasi. Minimal guru harus bisa memberi contoh dalam menghidupkan perpustakaan sekolah dengan cara sering membaca, meminjam buku, atau kalau memungkinkan mengadakan proses pembelajaran di perpustakaan. Dengan begitu, anak akan bersemangat mengikuti apa yang dilakukan oleh guru mereka. Alhasil, kita akan dianggap sebagai guru kekinian yang memahami perkembangan dan situasi yang terjadi saat ini,” kata Nur Solichah.
Pada dasarnya, berliterasi bagi guru Pendidikan Agama Islam tidak hanya sebatas membaca dan menulis saja, namun banyak yang bisa dilakukan dalam rangka mengembangkan kegiatan bernalar seperti membentuk kelompok ilmiah, kaligrafi, baca tulis Alqur’an, kajian perempuan, kajian agama, kajian fiqih keseharian dan lain sebagainya.
“Kalau dulu pembimbingan untuk hal-hal tersebut dilaksanakan secara tatap muka, ya sekarang diganti dengan memanfaatkan media sosial yang ada atau melalui zoom meeting,” imbuhnya.
Lebih lanjut dirinya mengingatkan agar penilaian dan evaluasi akhir bagi peserta didik di masa pandemi covid-19 ini jangan hanya berupa tugas untuk mengerjakan soal-soal saja. Namun perlu kiranya sesekali siswa dibawa ke suasana yang berbeda dengan diajak bermain kuiz, teka teki silang, membuat produk tertentu, membuat laporan proyek keagamaan dan sebagainya yang intinya bisa mengurangi rasa kebosanan dan kemalasan belajar.
“Saat ini Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sangat digalakkan tentunya dalam rangka mendukung Gerakan Literasi Nasional (GLN). Maka jangan sungkan memposisikan diri sebagai guru agama yang mampu menjadi motivator gerakan literasi di sekolah masing-masing, untuk ketercapaian gerakan nasional tersebut,” pungkasnya. (ns-shl/Sua)