Peran Penyuluh dalam Meredam Gejala Konflik di Masyarakat

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Rembang — Berbagai kasus kekerasan antar umat beragama yang terjadi kembali baru-baru ini menjadi perhatian dan keprihatinan tersendiri. Seperti halnya kasus Tanjung Balai Sumatra Utara. Masyarakat diminta untuk tidak turut terprovokasi atas kejadian-kejadian tersebut dan meminta untuk tetap menjaga kerukunan umat beragama.

Demikian dikemukakan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Rembang, Atho’illah dalam Rapat Koordinasi dengan Tokoh Agama yang diselenggarakan pada Selasa (09/08) di aula Kankemenag Kabupaten Rembang.

Dalam acara yang dihadiri oleh puluhan penyuluh agama tersebut, Atho’illah menyebutkan, beberapa tahun terakhir ini sudah terjadi peristiwa yang menunjukkan intoleransi antar umat beragama.

“Seperti perusakan tempat ibadah, pelanggaran aktivitas keagamaan, diskrimininasi atas nama agama, dan pemaksaan keyakinan. Tokoh agama dan para penyuluh harus berperan serta untuk menanggulangi dan mencegahnya,” tandas Atho’illah.

Setiap waktu, lanjut Atho’illah, penyuluh agama harus memahami gejolak sosial yang timbul di masyarakat. “Walaupun di Rembang gejala konflik cenderung minim, namun harus diantisipasi sejak dini. Oleh karena itu, penyuluh agama harus mampu membaca berbagai hal yang berpotensi menimbulkan konflik,” sambung Atho’illah.

Sementara Kasi Bimas Islam, M. Mahmudi mengatakan, penyuluh agama mempunyai peran penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. Konsep kerukunan yang sebenarnya dikehendaki oleh semua agama perlu ditandaskan ulang supaya tidak terjadi berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Disebutkannya, seiring berkembangnya paham dan aliran keagamaan, muncul gerakan-gerakan keagamaan baru  (New Religious Movement) di dunia, termasuk di Indonesia.

“Terutama pasca reformasi berbagai macam pergerakan muncul sebagai bentuk euforia kebebasan. Seperti gerakan Salamullah (Lia Eden), Al-Haq, Komunitas Millah Abraham (KOMAR), Salafi Jihadis, dan terakhir kasus Gafatar. Juga faham radikalisme, khilafah, dan juga liberal yang menjadi kontroversi,” urai Mahmudi.

Beberapa hal yang bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan tersebut, kata Mahmudi,  yaitu, memberikan sosialisasi Peraturan Bersama Menag dan Mendagri tentang pembinaan kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah, pemberdayaan rumah ibadah secara multifungsi.

“Selain itu, menghidupkan organisasi remaja masjid dan rumah ibadah lainnya, penguatan majlis ta’lim  berperspektif kerukunan, mengembangkan dialog antar tokoh agama, kampanye budaya damai dan hidup rukun, pengembangan budaya toleransi, pelurusan makna jihad, dan intensifikasi Bakorpakem, penguatan kerjasama sosial kemanusiaan  lintas agama, dan pemberdayaan FKUB,” sambungnya menguraikan.—(Shofatus Shodiqoh/gt)