Sifat Mulia Nabi Ibrahim

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Oleh: Wajihudin (Penyuluh Agama Islam Kab. Wonosobo)

Dalam perayaan Idul Adha (tanggal 10-13 Zulhijjah), terdapat momentun menyembelih hewan kurban. Berkurban, merupakan amal yang penting dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana berkurban adalah mendekat kepada Allah dengan cara mengendalikan hawa nafsu kepemilikan dan memberikan sebagian anugerah Allah untuk kemaslahatan sesama umat.

Sesungguhnya, hawa nafsu ingin memiliki apa saja dan egosime merupakan bencana jiwa manusia. Sebab, nafsu ini merupakan pintu masuk iblis untuk mendorong kerakusan dan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi. Oleh sebab itu, Allah mendidik hambaNya agar berkurban untuk memutus kerasukan, memberontak kepada Allah dan egoism.

Melalui Nabi Ibrahim ‘alahissalam, Allah memberi pelajaran supaya mampu melawan cobaan dan serangan yang bertubi-tubi dari iblis. Terutama ketika iblis menyerang agar membangkang perintah berkorban. Ibrahim ‘alaihissalam memenangkan pertempuran antara “nafsu kepemilikian” dan “ketataan”. Meskipun berat hari, beliau tetap menaati perintah Allah.

Kehidupan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam merupakan fakta penting dalam mengatasi nafsu kepemilikan dan kerakusan. Allah Swt. memuji sikap Ibrahim ‘alaihissalam dalam flrman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. 

Dan sekali-kali dia buknalh termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). ” (TQS. al-Nahl [16]: 120) Beberapa sifat Nabi Ibrahim ‘alahissalam yang semestinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah:

Pertama, selalu menunaikan janji.

Dia pasti memenuhi janji. Allah Swt, berfirman: “Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. ” (TQS. an-Najm [57]: 37).

Dia senantiasa melaksanakan perintah Allah. Hal ini merupakan wujud pemenuhan janjinya sebagai seorang muslim atau orang yang berserah diri kepada Allah. Seseorang yang telah berjanji menyerahkan dirinya kepada Allah, berarti harus memiliki komitmen melaksanakan perintah Allah.

Demikian halnya janji kepada sesama manusia. Tidak seharusnya seornag mukmin mengingkari janji dan mengkhianati amanat yang diberikan kepadanya. Komitmen sangat-lah penting dinyatakan apabila telah bersumpah janji kepada Allah maupun sesama manusia.

Misalnya janji pernikahan, jabatan, perniagaan dan sebagainya. Karena tidak adanya komitmen terhadap janji; maka tumbuh subur tipu daya, kebohongan, kemunafikan dan manipulasi. Akhirnya kehidupan dan sistem tata sosial menjadi rusak bahkan hancur.

Kedua, penyantun.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.” (TQS. Hud [11]: 75)
Dia seorang suka menyantuni dan lemah lembut.

Meneladani sifat ini berarti, seorang hamba Allah mesti berbelas kasihan, peduli, rendah hati, suka pada kedamaian dan ketenangan. Seorang penyantun dan lemah lembut memanfaatkan kekayaan untuk kemaslahatan serta tidak menumpuknya dengan cara haram dan zalim.

Sebaliknya dia sederhana, sigap menolong orang lain, menyantuni dan mensebarluaskan kerahmatan. Kekuatan, kekuasaan dan kekayaannyadimanfaatkan untuk menyantuni sesama manusia.

Ketiga, penghiba.

Dia tidak tega melihat orang-orang yang didzalimi. Dia sangat sensitif apabila melihat orang lain mengamali kesulitan hidup serta tidak tega melihat masyarakat dalam kesesatan. Maka seseorang yang berjiwa Ibrahim menjaga dan memenuhi hak orang lain serta berlaku adil. Juga sensitif terhadap ketidakadilan, berbelas kasihan dan tidak tega melukai sesama umat.

Seorang penghiba senantiasa memohon kebaikan kepada Allah bagi sesama umat. Tidak membuat gaduh, menimbulkan kekacauan di dalam masyarakat, bangsa dan negara. Tidak tega melihat kekerasan, sehingga dia suka melindungi dan mengayomi orang-orang teraniaya dan lemah.

Keempat, suka kembali kepada Allah.

Dia senantiasa memohon ampun kepada Allah, padahal tidak memilki kesalahan kepada-Nya. Hal ini dilakukan karena merasa tidak sempurna dalam menaati Allah. Merasa belum benar-benar menyerahkan diri atau menjadi muslim sejati kepada-Nya.

Maka, jiwa seorang Ibrahimi tidak akan berlama-lama dalam dosa, tetapi memahami kesalannya, memohon ampunan dan menebusnya dengan banyak amal salih. Jiwa seorang Ibrahimi menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin di manapun berada.

Dengan kata lain, jiwa seorang Ibrahimi senantiasa melakukan evaluasi diri, menjadi rahmat dan tidak mengulang kesalahan, sehingga kehidupan menjadi lebih baik.

Allah Swt. menyebut Ibrahim ‘alaissalam sebagai kekasih-Nya tidak lain karena sifat-sifatnya. Dia bertauhid, baik kepada sesama manusia, dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Hidup, mati dan ibadahnya hanya karena Allah, Tuhan semesta alam.

Oleh sebab itu, Allah mengkhususkan Nabi Ibrahim di sisi Allah, sebagaimana disebut dalam firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang Ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (TQ.S. An-Nisa [4]:125).

Aktualisasi dan realisasi sifat-sifat Ibrahim ‘alaihissalam dalam kehidupan sehari-hari merupakan bekal memperoleh kemuliaan di sisi Allah, keselamatan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Setiap muslim yang taat dan senantiasa mengerjakan kebaikan, niscaya termasuk sebagai kekasih Allah. [ ]

Sumber:wonosobozone.com