FKUB minta Eks-Gafatar tidak dikucilkan

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pekalongan – Penganut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dikabarkan akan dikembalikan ke daerah asal. Untuk itu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pekalongan meminta agar masyarakat menyambut dengan baik. Sebab mereka merupakan anak-anak bangsa yang tersesat dan korban dari keadaan, karena terpengaruh atau bahkan hanya ikut-ikutan gerakan itu saja.

“Pengikut Gafatar merupakan anak-anak bangsa yang menjadi korban dari elit-elitnya. Mari sambut mereka dengan baik. Jika mereka salah, kita benarkan. Jika mereka tersesat, kita bimbing. Islam merupakan agama Rahmatan Lil Alamin, yang membawa kedamaian, kesejukan, dan keselamatan bukan hanya untuk umat muslim saja, namun seluruh makhluk di dunia ini,” ungkap Ketua FKUB Kabupaten Pekalongan, M Dzukron, dalam acara Sosialisasi Mensikapi Paham Radikalisme di Aula Mapolres Pekalongan (25/1).Namun, lanjut dia, para mantan pengikut Gafatar merupakan anak-anak bangsa yang menjadi korban bujuk rayu elit-elit Gafatar. Para pengikut ini dibawa ke tempat isolasi untuk mengembangkan diri dan kekuatannya. Dan, tidak menutup kemungkinan jika kuat, Gafatar akan membangun negara di dalam negara. Menurutnya, saat ini banyak organisasi massa yang remang-remang, yang mencampuradukkan ajaran agama Islam, sehingga menimbulkan kekisruhan di negeri ini.

Ketua MUI Kabupaten Pekalongan, Rozikin, menilai Gafatar merupakan organisasi yang remang-remang karena belum mendapat persetujuan dari pemerintah. Menurutnya, Gafatar memiliki kegiatan dan pusatnya selalu berpindah-pindah. “Jika remang-remang biasanya ada hal yang tidak baik, makanya perlu disikapi,” katanya.

Diuraikannya, paham radikal perlu diantisipasi karena itu merupakan akar munculnya terorisme. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya paham radikalisme. Faktor-faktor itu, diantaranya faktor idiologi politik.

Setelah era reformasi, organisasi baik politik maupun masyarakat tumbuh bebas di Indonesia. Dengan proses demokratisasi yang tinggi, kebebasan menjadi begitu luas. Salah satu dampaknya organisasi tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. “Orang berbicara seolah-olah semaunya sendiri. Selain itu, setelah era reformasi, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar negara sudah memudar,” ungkapnya.

Faktor kedua, lanjut dia, adalah sosial budaya. Menurutnya, dalam perekrutan anggota, Gafatar tidak menggunakan kekuatan politik, namun menggunakan sosial budaya. Isu-isu kesejahteraan, kesehatan, dan sebagainya digunakan sebagai alasan untuk membujuk masyarakat agar mengikuti organisasi tersebut.

“Alibi bangsa ini yang ada hanya kemaksiatan dan sebagainya digunakan untuk merekrut anggota,” katanya.

Sedangkan, faktor ketiga adalah solidaritas. Mereka seolah-olah peduli dengan sesama dengan menjual rasa solidaritas dan ketidakadilan, namun menyalahgunakan rasa solidaritas itu untuk melakukan perlawanan.

“Aparat penegak hukum dalam melakukan pencegahan paham radikal juga harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Orang yang ditangkap belum tentu bersalah hingga ada keputusan di pengadilan. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi kelembagaan dalam pencegahan paham radikalisme ini.” (hufron)