Keteladanan, kunci keberhasilan Reformasi Mental

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Karanganyar – Modernisasi yang terjadi di negeri ini tidak hanya membawa dampak positif saja, melainkan juga membawa dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Kriminalitas, narkoba, pergaulan bebas hingga korupsi seringkali menjadi headline surat kabar baik di media cetak maupun elektronik. Tentunya hal ini menambah sederet permasalahan dan pekerjaan bagi para pendidik di Indonesia, tidak terkecuali guru agama / pendidik iman umat Katolik Kabupaten Karanganyar.

Dalam sebuah kegiatan yang dibalut dengan rapat koordinasi (rakor) pendidik iman umat Katolik, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karanganyar, Musta’in Ahmad dan Kasubbag TU, Wiharso datang untuk memberikan pembinaan. Acara yang berlangsung di aula Gereja Katolik Santo Pius X ini dihadiri oleh 40 pendidik iman se Kabupaten Karanganyar.

Saat menyampaikan pembinaannya tentang keikhlasan dan lima nilai budaya kerja Kementerian Agama, Musta’in mengatakan bahwa ikhlas adalah ruh dalam melakukan kegiatan, termasuk mendidik siswa/siswi di sekolah. Disamping itu, Kakankemenag juga berbicara tentang kehormatan yang harus dimiliki oleh seorang manusia, terutama guru agama atau pendidik iman. Menurutnya, teori hierarki kebutuhan yang dipopulerkan Abraham Maslow tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, khususnya orang jawa.

“Mbah-mbah kita dulu mengajari bahwa dalam hidup ada tiga hal yang harus dimiliki oleh seorang manusia, yaitu Sandang, Pangan dan Papan. Kenapa sandang ditempatkan pada urutan pertama, bukan pangan seperti teori kebutuhan milik Abraham Maslow? Hal ini menggambarkan bahwa kehormatan yang disimbolkan dengan sandang berada diatas kebutuhan fisik, kehormatan adalah hal yang paling penting diantara kebutuhan lainnya. Gampangnya, laper ga papa, yang penting kehormatan dan harga diri kita masih terjaga”, jelas Musta’in dihadapan pendidik iman Katolik.

“Misalkan kita ditawari makan oleh seseorang, kemudian kita jawab, maaf saya barusan makan. Padahal saat itu kita lapar sekali, tapi kita berusaha untuk menjaga kehormatan kita dengan tidak menjadi orang yang gelem’an atau lainnya”, tambahnya.

Masih menurut Musta’in, lima nilai budaya kerja yang sering dipopulerkan oleh Menteri Agama, Integritas, Profesionalitas, Inovasi, Tanggungjawab dan keteladanan dapat dijadikan pedoman dalam menjaga kehormatan dan martabat kita.

Sementara itu, Kasubbag TU, Wiharso yang menyampaikan materi tentang reformasi mental mengatakan bahwa manusia menjadi berharga di mata sesamanya bila memiliki mental yang sehat. Dia mencontohkan apabila ada sayembara yang memperebutkan se-ekor sapi gila dan orang gila, maka yang dipilih oleh orang adalah sapi gila nya, karena sedikit banyak masih bisa diambil manfaatnya.

“Itulah kenapa jiwa kita harus senantiasa dijaga dan dibina. Tidak hanya raga saja yang diolah, jiwa juga harus diolah, agar memiliki mental yang sehat”, ujar Wiharso memberi alasan pentingnya keseimbangan antara olahraga dan olahjiwa.

Sebelum melangkah lebih jauh untuk memperbaiki bangsa, Kasubbag TU berpesan agar memulainya dengan memperbaiki keluarga terlebih dahulu. Karena menurutnya mental suatu bangsa akan baik diawali dengan keluarga-keluarga kecil yang baik.

Pendidikan bangsa Indonesia saat ini yang lebih menekankan aspek kognitif dan bukan aspek moral merupakan sebuah ancaman berbahaya bagi masyarakat. Menurutnya, hal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pendidik iman, tidak hanya di katolik melainkan di semua agama.

Untuk mencapai keberhasilan dalam menyampaikan ajaran agama dan memperbaiki mental/moral bangsa, Wiharso dengan tegas mengatakan bahwa tokoh agama/guru agama mau tidak mau harus menjadi teladan/panutan di tengah-tengah lingkungan dan masyarakatnya. (Hadi)