Tingkatkan Moderasi Dan Toleransi Beragama Melalui Dialog Tokoh Lintas Agama

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Purwokerto – Dialog tokoh lintas agama adalah salah satu upaya Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banyumas, dalam menjaga kemajemukan bangsa.Seperti yang dilaksanakan Selasa (20/3), 75 peserta yang terdiri dari perwakilan tokoh agama, pengurus FKUB, pimpinan ormas dan lembaga keagamaan, para penyuluh agama, generasi muda lintas agama, Polres Banyumas, Kesbangpol Banyumas, dan RRI berkumpul di d’Garden café &resto Purwokerto untuk melakukan dialog. Dalam dialog tersebut, menghadirkan narasumber dari Kementerian Agama, FKUB, Polres Banyumas, dan Kesbangpol Pemkab Banyumas.

Kepala Kemenag Imam Hidayat mengatakan, kegiatan dialog ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Adapun tujuannya, selain ajang silaturahmi, sekaligus memantau perkembangan terkini dari masing-masing agama, yang terdiri dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, serta Konghucu.

Selain itu, Imam mengenalkan diri kepada seluruh peserta mengingat beliau mendapat tugas yang baru sebagai Kepala Kankemenag Kabupaten Banyumas di awal tahun.

“Para pendiri bangsa sudah sepakat mengakui agama yang menghargai keberagaman. Kita semua bangga akan NKRI. Kemenag adalah perwakilan pemerintah yang salah satu tupoksinya adalah memberikan fasilitas kepada umat beragama agar bisa menjalankan keyakinannya dengan aman dan nyaman, masyarakat harus dididik, diatur, dibimbing, dan diarahkan untuk beragama yang baik dan menghormati umat beragama lain yang berbeda keyakinan,” tukasnya.

Sementara itu Mohamad Roqib selaku ketua FKUB yang tampil sebagai narasumber dalam acara dialog ini  menuturkan, kegiatan ini merupakan kegiatan positif yang patut diapresiasi. Hal ini tentu dapat menjadi wadah para tokoh lintas agama, untuk dapat saling mengakrabkan diri sehingga dapat tercipta toleransi.

“Untuk menjaga kemajemukan bangsa khususnya di tahun politik kita membutuhkan moderasi agama, yaitu sikap beragama yang sedang atau tengah-tengah, tidak berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrim, tidak menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral tidak berafiliasi dengan kepentingan politik atau kekuatan tertentu,” jelas Rokib.

Pemicu munculnya kekerasan atas nama agama

Menurut Wakapolres Banyumas, Kompol Malpa Malacoppo, ada beberapa pemicu munculnya aksi kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang mengatasnamakan agama atau kelompok (intoleransi beragama), diantaranya yaitu : adanya kesalahan dalam mengimplementasikan perintah agama, sehingga golongan yang berbeda keyakinan dianggap sebagai lawan;  Kedua, masih kuatnya sikap saling curiga mencurigai antara umat beragama atau kelompok tertentu;

Ketiga, munculnya kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kelompok tertentu; Ke empat, tidak mengakarnya rasa toleransi dikalangan masyarakat, sehingga yang muncul adalah bagaimana mempertahankan agar kelompoknya yang paling benar; Kelima, kekurangtegasan dalam  bersikap dari pemerintah dalam menghadapi aksi kekerasan yang dilakukan kelompok agama atau masyarakat tertentu, sehingga para pelaku seolah kebal hukum;

Dan terakhir, pandangan pemerintah dan masyarakat selama ini selalu menyebutkan bahwa toleransi di Indonesia sudah baik sehingga kasus-kasus kekerasan yang terjadi selalu dianggap sebagai masalah kecil, padahal hal tersebut memicu munculknya sikap tidak waspada. (hk/bd)