Pentingnya Andil Penyuluh Agama Islam dalam Sosialisasikan Perkawinan dan KDRT

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Semarang—Pembahasan mengenai perkawinan dan keluarga selalu menjadi bahan yang menarik untuk dibahas, oleh karenanya diadakanlah Pelatihan di Tempat Kerja (PDWK) Keluarga Sakinah yang diselenggarakan di Hotel Muria, selama 6 hari, mulai tanggal 7-12 Februari 2022 dan diikuti oleh Penyuluh Agama Islam Fungsional (PAIF), Penyuluh agama Honorer (PAH), tokoh agama (toga), tokoh masyarakat (tomas) dan organisasi masyarakat (ormas) keagamaandi lingkungan Kota Semarang. “Ada 35 peserta yang telah dipilih untuk mengikuti kegiatan Pelatihan Keluarga Sakinah,” tutur Samsudin selaku panitia PDWK Keluarga Sakinah Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kota Semarang.

Dijelaskan olehnya bahwa kegiatan ini merupakan prakarsa dari Balai Diklat Keagamaan (BDK) Semarang dan Kankemenag Kota Semarang.

Guna menarik antusiasme peserta kegiatan, setiap hari disajikan materi yang berbeda dan sedang menjadi trending topik, seperti pada pelatihan hari kedua, diangkatlah tema “Perkawinan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”.

Materi ini disampaikan oleh Ngamilah Widyaiswara BDK Semarang selama 3 jam pembelajaran (JPL).

“Perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutur Ngamilah.

Dalam UU tersebut diatur tentang hak perlindungan anak yaitu bagi seseorang yang melakukan pernikahan dibawah usia 21 tahun harus mendapat persetujuan dari kedua orang tua, dan perkawinan hanya diijinkan apabila pria atau wanita sudah berusia 19 tahun. “Jika belum berusia 19 tahun, ijin perkawinan bisa diberikan jika orang tua mengajukan dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak dan diserai data dukung yang mencukupi,” terang Ngamilah.

Perkawinan bisa jadi menimbulkan perselisihan bahkan KDRT yang sebagian besar banyak dialami oleh pihak perempuan, hal ini dikarenakan masih adanya pemikiran paradikma lama dalam memaknai perempuan hanya di ranah domestik, pelengkap dan pelayan suami, dan perempuan dianggap tidak memiliki peran di masyarakat. Pemahaman ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual. “Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang KDRT,” ucap Ngalimah.

“UU nomor 23 tahun 2004 tentang KDRT diterbitkan dengan tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban, menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera,” imbuh Ngalimah.

Nanik Zulfa selaku PAIF Kecamatan Mijen sangat tertarik dengan materi yang disampaikan Ngamilah. Menurutnya PAIF maupun PAH Kankemenag Kota Semarang harus mengambil peran untuk turut serta mensosialisasikan perkawinan dan KDRT di masyarakat, dengan tujuan agar perempuan lebih memahami hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Selain itu seorang suami juga lebih memahami kewajibannya sebagai seorang kepala dan pemimpin keluarga, sehingga bisa terbentuk suatu keseimbangan dan keharmonisan dalam rumah tangga.(Samsudin/NBA/bd)