Optimalisasi Peran Penghulu sebagai Aktor Penguatan Moderasi Beragama

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya, serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni bagaimana cara beragama sekaligus bernegara.

Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang masih kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.

Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan dimana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi, dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.

Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intra-agama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antar agama).

Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain. Kita harus belajar dari pengalaman pahit sebagian negara yang kehidupan masyarakatnya karut-marut, dan bahkan negaranya terancam bubar, akibat konflik sosial-politik berlatar belakang perbedaan tafsir agama.

Keragaman, di bidang apa pun, memang meniscayakan adanya perbedaan, dan perbedaan di mana pun selalu memunculkan potensi konflik. Jika tidak dikelola dengan baik dan disikapi dengan arif, potensi konflik ini dapat mengarah pada sikap ekstrem   dalam membela tafsir kebenaran versi masing-masing kelompok yang berbeda.

Daya rusak konflik yang berlatar belakang perbedaan klaim kebenaran tafsir agama tentu akan lebih dahsyat lagi, mengingat watak agama yang menyentuh relung emosi terjauh di dalam setiap jiwa manusia. Padahal, tak jarang perbedaan yang diperebutkan itu sesungguhnya sebatas kebenaran tafsir agama yang dihasilkan oleh manusia yang terbatas, bukan kebenaran hakiki yang merupakan tafsir tunggal yang paling benar dan hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Benar.

Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.

Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif.

Di sisi lain, ada juga umat beragama yang esktrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi. Karenanya, untuk menjadikan moderasi beragama se­bagai solusi, kita perlu memiliki pemahaman yang benar tentang makna kata tersebut.

Mengapa moderasi beragama itu penting ?

Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan.

Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal, beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.

Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita, jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.

Lebih dari itu, cara pandang dan praktik moderasi dalam beragama bukan hanya kebutuhan masyarakat Indonesia, melainkan kebutuhan global masyarakat dunia. Moderasi beragama mengajak ekstrem kanan dan ekstrem kiri, kelompok beragama yang ultra-konservatif dan liberal, untuk sama-sama mencari persamaan dan titik temu di tengah, menjadi umat yang moderat.

Al-Quran sebagai pedoman umat Islam secara jelas menyebutkan bagaimana posisi umat Islam di tengah umat-umat terdahulu, secara gamblang disebutkan bahwa posisi umat Islam yaitu sebagai ummatan wasathan—umat yang moderat (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143) . Penyebutan ini di dalam al-Qur’an menegaskan bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dan merespon kondisi sosial.

Dalam tradisi kenabian, Nabi Muhammad Saw. Pernah mendefinisikan dan mencirikan risalah yang denganya ia diutus. Jabir meriwayatkan Nabi bersabda: “aku diutus dengan membawa agama yang lurus lagi toleran, atau (dalam redaksi lain) mudah, siapa pun yang menyalahi tradisiku , dia bukanlah dariku.”

Sebagai unit terkecil masyarakat dan tempat pendidikan pertama dan utama setiap warga bangsa, keluarga memiliki potensi yang sangat besar untuk menanamkan dan menyemai praktik moderasi beragama. Praktik moderasi beragama dengan semua tradisinya tidak dapat diandaikan terjadi begitu saja secara alamiah, melainkan harus disemai sejak nilai-nilai setiap individu warga bangsa dibentuk. Sebagai pemegang mandat wewenang negara dalam hal keagamaan, sekaligus pengawal UU Perkawinan No 1/1974, Kementerian Agama wajib memperkuat praktik beragama yang moderat ini melalui stelsel keluarga.

Konsep ‘’Keluarga Sakinah’’ Kementerian Agama menggambarkan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga damai yang menenteramkan anggota keluarganya serta memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga sedemikian tentu saja dibangun di atas landasan nilai keadilan, kesalingan, dan keseimbangan. Ini adalah wujud yang selaras dengan prinsip-prinsip moderasi beragama.

Nilai-nilai luhur ini dapat ditanamkan oleh Kementerian Agama melalui berbagai program pembinaan keluarga di semua lini, mulai dari penyuluhan dan bimbingan di tingkat Kantor Kementerian Agama sampai di tingkat layanan Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan. Kementerian Agama membuat kerangka pikir dan membangun kerangka kerja dari sumber-sumber agama yang sahih.

Kementerian Agama sendiri sangat berkepentingan turut menciptakan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang disertai internalisasi nilai-nilai agama yang moderat, esensial, inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, serta menghargai keragaman dan perbedaan. Oleh karena itulah, Kementerian Agama menjadi leading sector dalam upaya pengarusutamaannya. Meski dari segi nomenklatur kata moderasi beragama baru dikenal sekarang, namun secara substantif misi menjaga kerukunan sesungguhnya telah dilaksanakan oleh Kementerian Agama sejak awal kelahirannya, dan terus berlangsung hingga kini mendapat momentum memperkuat moderasi beragama secara lebih sistematis dan terstruktur.

Sosialisasi moderasi beragama semakin gencar, berbagai workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan lainnya dilakukan untuk mematangkan rumusan konseptual moderasi beragama.

Puncaknya, moderasi beragama sampai pada upaya penguatan dengan memasukannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pelembagaan moderasi beragama artinya menerjemahkan moderasi beragama ke dalam institusi, lembaga, struktur, atau unit yang secara khusus memikirkan strategi implementasi konsep ini agar mengejawantah menjadi program dan kegiatan yang terukur dan berkesinambungan.

Ada 9 basic pointers yang akan kita implementasikan dalam rencana aksi moderasi beragama menuju Tahun Toleransi yang ditargetkan pada tahun 2022 : kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, keseimbangan, ketaatan hukum, cinta tanah air, toleransi, keterbukaan (inklusif), penghargaan tradisi lokal (kearifan lokal).

Mari kita diskusikan bersama dalam narasi Rencana Aksi. Penghulu sebagai aktor penguat moderasi beragama memiliki posisi dan peran yang sangat strategis dalam menyiapkan generasi terbaik yaitu membangun karakter keluarga (caracter building)  menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkarakter moderat dalam kehidupan keagamaan dan memiliki komitmen bernegara yang kuat dalam  ranah keindonesiaan.

Moderasi beragama adalah tanggungjawab bersama. Moderasi beragama tidak mungkin berhasil menciptakan kerukunan kalau hanya dilakukan oleh perorangan atau institusi tertentu saja seperti Kementerian Agama. Kita perlu bekerjasama dan saling bergandengan tangan, mulai dari masyarakat luas, pegiat pendidikan, ormas keagamaan, media, para politisi, dunia birokrasi, dan aparatur sipil negara.

SALAM MODERAT

(Duta Grafika)