Banjarnegara – Bertempat di Gedung Aswaja NU Center Kabupaten Banjarnegara, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Banjarnegara, bersama Seksi PD Pontren Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banjarnegara dan Rabithah Ma’hadul Islamiyah (RMI) Kabupaten Banjarnegara melepas sebanyak 55 santri Podok Pesantren Lirboyo, Jawa Timur, asal Kabupaten Banjarnegara, berangkat kembali menuju pondok yang didirikan oleh KH Abdul Karim (Mbah Manab) di Kota Kediri, setelah sebelumnya sempat libur panjang akibat pandemi Covid -19, Ahad Malam Senin, (24/05/21)
55 santri tersebut, terdiri dari santri lama dan santri baru. Sebelum melepas para santri berangkat kembali ke pondoknya, PCNU Kabupaten Banjarnegara menggelar istigotsah di pimpin oleh Ketua RMI Kabupaten Banjarnegara, KH Ahmad Nafis Atoillah, dilanjutkan doa bersama berharap agar diberikan keselamatan dan keberkahan.
Hadir pada kesempatan tersebut H. Zahid Khasani, Kasi PD Pontren Kankemenag Kab. Banjarnegara sekaligus Ketua PCNU Kab. Banjarnegara, H. Sumarna, Kasubag TU mewakili Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banjarnegara, Ketua RMI, dan para Alumni Lirboyo yang tergabung dalam Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal) Banjarnegara dipimpin Kyai Muhamad Munir.
Ketua PCNU Kabupaten Banjarnegara, H Zahid Khasani mengingatkan, keputusan memasukkan anak di Ponpes salaf yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama seperti Lirboyo, Tambakberas, Ploso dan Buntet Cirebon merupakan pilihan yang tepat.
“Saya juga mengingatkan kepada wali santri untuk bertirakat, bahwa usaha orang tua berpengaruh terhadap kesuksesan anaknya dalam menuntut ilmu di pondok,” ujarnya.
Sementara H. Sumarna dalam sambutan pelepasan mewakili Kepala Kankemenag menyatakan bahwa santri harus kuat segalanya, tidak boleh setengah – setengah dalam menuntut ilmu, senantiasa mengikuti petunjuk guru serta melaksanakan himbauan pemerintah terkait protokol kesehatan pada masa pandemi.
“Sebagai santri kalian semua harus kuat segalanya, badan harus sehat dengan asupan nutrisi cukup, kemauan harus keras dalam belajar dan senantiasa ikuti anjuran pemerintah dalam usaha pencegahan penyebaran virus corona dengan menerapkan prosedur kesehatan dalam kegiatan di Ponpes,” terangnya.
Panitia acara Pelepasan Pemberangkatan Santri Lirboyo asal Kabupaten Banjarnegara, Pono Suhayitno menyampaikan, dalam mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19, selain menjalani rapit antigen para santri juga menjalani aturan karantina baik sebelum dan sesudah sampai lingkungan pondok di Lirboyo.
“Ada karantina mandiri di rumah 14 hari sebelum berangkat. Nanti di sana (pondok pesantren Lirboyo) juga dikarantina lagi 14 hari,” ungkapnya.
Salah satu wali santri, Priyatno Al Yatno warga Desa Tlaga RT 01 RW 03, Kecamatan Punggelan yang ikut melepas buah hatinya malam itu berharap, anaknya Holis Handika (10) yang baru tahun ini masuk Pondok Lirboyo bisa mendapat berkah ilmu dan menjadi anak yang sholeh dan manfaat nantinya.
“Sebagai orang tua cuma mengikuti keinginan anak, tiba-tiba ingin mondok di Lirboyo, semoga bisa barokah ilmunya,” kata Ahmad.
Dalam acara tersebut diserahkan pula bantuan perbekalan untuk para santri, berupa uang saku, perlengkapan protokol kesehatan dan lain-lain yang secara simbolis diterima oleh Ananda Holis Handika mewakili santri putra serta Ananda Alzana Nur Rohmah mewakili santri putri. Turut hadir dan memberikan doa pada acara tersebut beberapa ulama NU Banjarnegara lainnya. Ada suasana mengharukan saat pelepasan santri berlangsung.
Dari laman web lirboyo.net, Lirboyo, adalah nama sebuah desa yang digunakan oleh KH Abdul Karim menjadi nama Pondok Pesantren. Terletak di barat Sungai Brantas, di lembah Gunung Willis, Kota Kediri. Awal mula berdiri Pondok Pesantren Lirboyo berkaitan erat dengan kepindahan dan menetapnya KH Abdul Karim ke Desa Lirboyo tahun 1910 M.
Pondok Pesantren Lirboyo berkembang menjadi pusat studi Islam sejak puluhan tahun sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan dalam peristiwa-peristiwa kemerdekaan, Pondok Pesantren Lirboyo ikut berperan dalam pergerakan perjuangan dengan mengirimkan santri-santrinya ke medan perang seperti peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. (akho/ak/rf)