Grobogan (Bimas Hindu) – Keberadaan umat Hindu yang ada di Jawa Tengah berasal tidak hanya dari Jawa saja tetapi dari berbagai suku di Indonesia, ini sudah tertulis dalam buku Sutasoma yang menyebutkan ”bhinnéka tunggal ika” dalam Tutur Tantular ini juga yang kini menjadi sesanti, semboyan dan sekaligus sikap hidup bangsa Indonesia dan kini dimaknai sebagai berbeda – beda tetapi tetap satu jua. Sesanti ini pula yang mampu membangun semangat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia sehingga bisa meraih kemerdekaan setelah selama 3½ abad lebih dijajah oleh Bangsa Belanda dan Jepang. Demikian disampaikan I Dewa Made Artayasa dalam sambutan upacara piodalan/ ulang tahun Pura Agung Sasanaweda Grobogan, Jumat (09/06).
Artayasa menyampaikan, Hindu mengajarkan tentang rwa bhinneda, beda dan sama adalah sesuatu yang selalu adadi dunia ini. Jika manusia tidak bisa memahami suatu perbedaan maka ia tidak akan pernah bisa hidup dalam kebersamaan. Sebaliknya jika mereka ingin hidup dalam kebersamaan maka perbedaan itu tidak perlu dipermasalahkan (dipertentangkan).
“Apa yang beda tidak perlu disama-samakan, dan apa yang sudah sama tidak perlu dibeda-bedakan,” tegas Artayasa. “Jika semua manusia mampu memahami rwa bhinneda yang ada di dunia ini, maka mereka akan hidup dalam kebahagiaan, ketenteraman dan kedamaian,” imbuhnya.
Upacara Piodalan yang dilaksanakan tepat pada saat bulan purnama keempat, dipimpin oleh Pendeta dari Jakarta Romo Pujo Broto Jati, hadir dalam upacara tersebut ketua PHDI Provinsi Jawa Tengah I Nyoman Surahatta, Umat Hindu Kabupaten Klaten, Sragen, Kudus, Pati dan Kota Surakarta.
Nyoman Surahatta menguraikan, membangun lebih mudah dari pada untuk menjaga, Pura Agung Sasanaweda megah berdiri jika tidak mampu merawat maka akan terkikis bangunan demikian pula penegempon/ umat bila tidak bersama-sama menyengkuyung hilang rasa persaudaraan maka akan hancur. “Untuk itu mari kita sadari bahwa kita semua bersaudara apapun suku kita tapi kita satu bersaudara,” ungkap Surahatta.
Sementara itu, Romo Pujo Broto Jati dalam Dharma Wacana menyampaikan, jika setiap manusia di muka bumi ini menyadari dasar-dasar persamaan tersebut, maka walaupun mereka berbeda ras, suku, agama dan budaya, mereka tidak akan sampai hati untuk melakukan aksi-aksi penghinaan/ penistaan/ kekerasan kepada orang lain yang berbeda dari mereka.
Sebagaimana diketahui bahwa agama yang diturunkan dari langit adalah bagi manusia, maka dari itu setiap penganut agama pun tentu harus menjalankan perintah-perintah agamanya secara manusiawi (nguwongké uwong). Dan agama apa pun tentu tidak akan mengijinkan pemeluknya untuk mengabaikan sisi humanisme dalam menjalankan ajaran agamannya. Dalam hal ini Hindu menyebutnya dengan istilah wasudaiva kutumbhakam (semua mahluk adalah bersaudara).
“Purwo, madyo lan wasono (Lahir, Hidup dan Mati) inilah kehidupan manusia tidak ubahnya pada malam ini piodalan diawali dari mecaru sampai persembahyangan dan diakhiri dengan nyipen, maka rangkain ini kita selalu bersama-sama tidak berjalan sendiri-sendiri,” pungkas Romo Pujo. Surodiro joningrat lebur dening pangastuti. (Wahonogol-js/gt)