Pati – Tak berlebihan bila kita menyebut guru adalah kunci revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan secara simultan berjalan di bidang-bidang lainnya. Mengapa dunia pendidikan? Setidaknya 18 tahun waktu anak manusia dihabiskan di bangku pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Demikian disampaikan Kepala Subbag TU Kankemenag Kab. Pati Ahmad Syaiku selaku nara sumber pada hari ketiga kegiatan Workshop Pembinaan Guru Agama Kristen se Kabupaten Pati, yang berlangsung di Ballroom Hotel Pati, Jum’at (25/5/2018).
Lembaga pendidikan menjadi “rumah kedua” untuk menempa anak-anak menjadi manusia dewasa yang bermartabat. Sayangnya, pendidikan yang dijalani selama ini belum sepenuhnya melahirkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Akibatnya, sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berbangsa masih terjadi hingga saat ini, bahkan cenderung semakin parah, paparnya.
Di hadapan 30 orang Guru Agama Kristen sebagai peserta workshop, Syaiku mengatakan, Kalau pada masa Orde Baru, praktik korupsi dan kolusi hanya terjadi di lingkaran dalam kekuasaan eksekutif dan di tingkat pusat, kini di Orde Reformasi, praktik haram tersebut merembet ke legislatif dan yudikatif, bahkan meluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Intoleransi pun semakin marak, ujarnya.
Kaum minoritas tak lagi mendapat perlindungan yang memadai serta menjadi sasaran tindak kekerasan kelompok kelompok intoleran, serta sebagian warga negara tak leluasa beribadat sesuai ajaran agamanya. Keserakahan pun menjadi-jadi, sehingga jurang antara orang kaya dan miskin semakin lebar, terangnya.
Di samping penegakan hukum yang masih lemah, penyelewengan tersebut juga terjadi karena sejak lama anak didik di sekolah dan mahasiswa hanya mendapat transfer pengetahuan, tanpa penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kehidupan. Para guru dan dosen hanya mentransfer ilmu, tetapi kurang menanamkan nilai-nilai moral, imbuhnya.
Menurut Syaiku (panggilan keseharian KaSubbag TU), Kondisi tersebut diperparah oleh orangtua yang sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tak memiliki cukup waktu untuk mendidik anak-anak di rumah. Akibatnya, ketika bekerja dan bermasyarakat, mereka menjadi individu yang korup, intoleran, dan serakah, paparnya.
Bagi kita, revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan guru adalah motor penggerak, sekaligus teladan, tegas Syaiku.
Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan agar guru benar benar bisa menjadi lokomotif perbaikan bangsa melalui gerakan revolusi mental, imbuhnya.
Pertama, perbaiki kesejahteraan guru! Selama ini, sebagian besar guru bekerja sesuai argo. Mereka datang ke sekolah hanya untuk mengajar dan bukan mendidik. Tak jarang waktu mengajar pun disunat karena menjalani pekerjaan lain untuk menambah penghasilan. Kebijakan pemerintahan SBY untuk memperbaiki kesejahteraan guru melalui program sertifikasi guru patut diapresiasi, tetapi sayangnya program tersebut berjalan tersendat-sendat, terangnya.
Kita berharap pemerintahan Jokowi dapat lebih cepat menyejahterakan guru, Bila kesejahteraan guru semakin baik, kita percaya mereka akan mendidik anak bangsa dengan lebih baik, sekaligus menjadi model manusia Indonesia yang telah mengalami revolusi mental, harapnya.
Kedua, pelatihan guru. Sebagian Kurikulum 2013 sebetulnya telah mengadopsi sistem pendidikan yang terbukti sukses dijalankan sekolah-sekolah swasta tertentu untuk melahirkan siswa berprestasi dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya mengundang para guru yang terbukti berhasil mendidik siswanya untuk berbagi kiat sukses mendidik kepada koleganya dengan memadukan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Guru-guru tersebut juga menjadi model bagi koleganya, papar Syaiku lebih lanjut.
Ketiga, penyebaran guru yang lebih merata. Ketimpangan penyebaran guru di Indonesia harus segera diatasi agar revolusi mental tak hanya berlangsung di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa, karena setiap kelas bisa diasuh minimal satu guru, paparnya.
Keempat, menjadikan guru sebagai profesi mulia dan bergengsi. Melalui perbaikan kesejahteraan, kita berharap mulai saat ini pemerintah merekrut bibit-bibit unggul untuk dididik menjadi guru. Calon guru bukan lagi berasal dari mahasiswa yang gagal lolos tes pada jurusan-jurusan favorit atau pilihan terakhir saat masuk perguruan tinggi, tetapi mereka yang benar-benar terpanggil memperbaiki kehidupan bangsa, urai Syaiku.
Untuk itu, seleksi calon guru pun dilakukan lebih ketat. Selain guru, revolusi mental juga harus terjadi pada para penyelenggara negara, tokoh agama, dan pemuka masyarakat, yang berangsur-angsur menularkannya kepada masyarakat agar di masa mendatang manusia Indonesia pun meninggalkan perilaku korup, intoleran, dan serakah, tutup Syaiku mengakhiri paparan materinya di jam pertama hari ketiga pada kegiatan workshop tersebut. (Athi’/bd)