FKPAI Kota Semarang Jemput Penjelasan Ahmadiyah Versi Ahmadiyah

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Semarang – Dalam komunitas muslim dunia dikenal ada tiga aliran utama dengan ortodoksi yang berbeda yaitu Sunni, Syiah dan Ahmadiyah. Ketiganya hidup berdampingan di Indonesia yang dijamin kebebasannya dalam beribadah dan berkeyakinan. Dari ketiga tersebut yang paling muda adalah Ahmadiyah karena masuk baru di negeri pada tahun 1925.

Ajaran kontroversinya yang bergema di masyarakat adalah bahwa pendirinya yaitu Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi menjadikan sebagian besar ulama dan umat Islam mencapnya sesat yang mengakibatkan berbagai tragedi kekerasan yang seharusnya tidak pantas terjadi di negeri berdasarkan Pancasila ini.

Untuk itulah, para penyuluh agama Islam yang bekerja di bidang penanggulan radikalisme dan aliran menyimpang bersama bidang kerukunan umat beragama dalam naungan Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Kemenag Kota Semarang menjemput bola dengan mengadakan live in selama tiga hari di komunitas Ahmadiyah yang hidup sebagai mayoritas di desa Manislor Kabupaten Kuningan Jawa Barat pada 25-27 Maret kemarin.

“Kami jemput penjelasan terkait Ahmadiyah dari sumber aslinya yaitu Ahmadiyah versi Ahmadiyah”, tukas Syarif Hidayatullah, selaku penyuluh agama fungsional pada Sabtu (26/3).

“Selama ini, kita sering mendengar terkait Ahmadiyah versi Ahlus Sunnah Wal Jam’ah, yang tentunya sedikit bertendensi penghakiman sepihak”, imbuhnya.

“Hasil jemput bola ini, kami para penyuluh mendapat keterangan yang berbeda dengan dengan sebelumnya bahwa Mirza Ghulam Ahmad lebih digemakan sebagai sosok personal dari dua unsur yaitu Imam Mahdi dan Isa yang menjadi umatnya Rasulullah Muhammad Saw, bukan sebagai Nabi baru,” ungkap pembina eks napi terorisme ini.

Dengan informasi baru ini, setidaknya para penyuluh agama akan mampu beri penjelasan kepada masyarakat dalam upaya mengurangi gesekan terkait pemahaman Ahmadiyah.

“Pemahaman Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al Mahdi setidaknya dapat mengurangi resistensi di masyarakat”, tutur Mubasyir selaku ketua FKPAI.

“Tidak hanya itu saja, setelah kami live in di Manislor, kami mendapatkan bahan untuk menjelaskan akidah dan amaliahnya serta persamaan dan perbedaannya dengan umat Islam mainstream. Contohnya terkait pengucapan syahadat ternyata sama tidak ada bedanya, tidak ada penambahan kata satu pun,” tambahnya.

“Kegiatan selanjutnya, FKPAI akan jemput bola ke kominitas Syiah guna meraih penjelasan Syiah versi Syiah”, pungkas Mubasyir. (sy/bd)