Banjarnegara – Desiminasi tindak lanjut hasil pelatihan fasilitator moderasi beragama yang dilaksanakan mulai tanggal 29-30 Desember 2021 berhasil sukses.
Peserta dalam pelatihan ini terdiri dari kepala KUA, penyuluh agama Islam dan Kristen, pengawas, dan guru sekabupaten Banjarnegara.
Kontribusi guru sangat vital dalam penerapan moderasi beragama. Alasannya guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan harus mampu memberi teladan dalam membangun toleransi beragama.
Tujuan utama diadakannya pelatihan tersebut untuk memberi pemahaman tentang bagaimana moderasi beragama. Serta menerapkan materi moderasi beragama di wilayah Kabupaten Banjarnegara.
Pelatihan hari pertama diisi langsung oleh Efa dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.
Menurut Efa, moderasi beragama yaitu cara pandang, sikap, dan praktik dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahan esensi ajaran agama-melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berdasarkan prinsip adil, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
“Ini yang harus kita pahami bersama setelah kita melihat berbagai konflik yang terjadi di Indonesia,” jelasnya.
Beliau juga memberi sembilan kata kunci untuk dapat dipahami dalam menerapkan moderasi beragama yang meliputi kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormataan kapada tradisi.
“Sebenarnya sudah ada rambu-rambu moderasi beragama yang kita tidak boleh ragu. Ini pedoman bagaimana kita dapat menerapkan hal tersebut di masyarakat,” jelasnya lagi.
Hari kedua materi pelatihan diisi oleh Agus Surya Suripto, Kepala Kemenag Kabupaten Banjarnegara. Materi yang beliau sampaikan yaitu mengulik masalah moderasi beragama di masyarakat, dunia pendidikan, dan KUA khususnya di Banjarnegara.
“Jangan sampai intoleransi bisa memecah belah persatuan bangsa. Untuk itu peserta pelatihanlah yang harus meminimalkan konflik berdasarkan prinsip moderasi beragama,” ungkapnya.
Surya Suripto juga menegaskan bahwa toleransi berarti menghormati bukan ikut meyakini ajarannya. Berbeda pendapat sudah menjadi kodrat, namun persepsi yang baik bisa diterima dan tidak boleh manyalahkan orang lain.
Guru juga ambil bagian penting dalam hal ini, bagaimana memupuk sikap toleran kepada anak didik, menghargai tradisi yang ada, serta menfilter perilaku yang mungkin bisa membahayakan keselamatan diri dan bangsa.
“Tanggung jawab guru sangat berat, karena membekali anak bangsa berjiwa moderat. Dan itu tidak mudah. Butuh semangat dan jiwa besar dalam menjalankannya,” tambah Suryo dalam paparannya. (dw/ak/rf)