Blora – Lembaga Amil Zakat (LAZ) memiliki peran signifikan dalam pengelolaan dan produktifitas zakat bagi masyarakat di kabupaten diantaranya mengurangi kesulitan kaum dhuafa, merentangkan tall solidaritas sesama umat manusia, mencegah jurang pemisah kaya miskin yang dapat menimbulkan malapetaka dan kejahatan sosial, mengembangkan tanggung jawab perseorangan terhadap kepentingan masyarakatdan lainnya, sehingga perlu didorong pengelolaan zakat secara benar.
Demikian disampaikan Kepala Kankemenag Blora, Tri Hidayat dalam acara Pembinaan Lembaga Amil Zakat Kabupaten Blora, kemaren (15/03) di Rumah Makan Jogelo Blora yang dihadiri oleh pengurus LAZIZ NU, LAZIS Muhammmadiyah, tokoh agama dan Lembaga Amil Zakat Kecamatan se-Kabupaten Blora.
Tri Hidayat juga menyampaikan pentingnya semua pihak secara bersama menumbuhkan kesadaran berzakat seperti yang dilakukan di lingkungan Kankemenag Blora, dimana PNS sudah menyisihkan 2,5 persen gaji untuk ditasarufkan melalui Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Kemenag Blora setiap tahun sehingga rasa kepedulian sosial sesama akan terus meningkat sehingga perlu disosialisasikan urgensi adanya LAZ di tingkat Kecamatan.
Menurut Tri, ada beberapa hambatan dalam pengelolaan zakat pada Lembaga Amil Zakat saat ini seperti kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat, kurangnya kesadaran umat untuk berzakat, pelaksanaan zakat dilaksanakan secara tradisional, belum Tersosialisasinya Peraturan Perundang-undangan terkait zakat, dan belum optimalnya kinerja pengelola zakat sehingga perlu optimalisasi peran dua elemen penting zakat yakni Pemerintah (Baznas, UPZ, LAZ) dan Masyarakat, baik penyuluh agama Islam, Tokoh Agama dan lain lain.
“Ada empat langkah dalam optimalisasi pengelolaan zakat yakni sosialisasi zakat, penguatan amil, pendayagunaan tepat sasaran dan koordinasi dari semua elemen masyarakat maupun antara BAZNAS Kabupaten wilayah, pusat maupun LAZ,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah, Ahyani menyampaikan bahwa saat ini yang perlu diperhatikan adalah sinergitas hubungan antara Baznas pusat dan daerah, kode etik bagi para amil zakat, dan hubungan antara Baznas dan LAZ karena keduanya seharusnya saling berkoordinasi untuk mengembangkan produktifitas dalam pengelolaan zakat.
Namun terdapat hambatan regulasi yang saling bertentangan antara PP No. 14 tahun 2015 dan UU No. 23 Tahun 2011 yakni pasal 62 dan 63 tentang pembentukan perwakilan LAZ yang dibatasi hanya ditingkat provinsi untuk LAZ skala Nasional dan ditingkat kabupaten/kota untuk LAZ skala Provinsi. Sedang LAZ skala kabupaten/kota tidak ada perwakilan, dan juga LAZ akan diaudit syariah oleh Kementerian Agama.
Dengan pembatasan pembentukan perwakilan LAZ jelas bertentangan dengan Pasal 26 UU Zakat yang menyatakan bahwa Pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Sehingga, Ahyani menjelaskan bahwa pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UU zakat pasal 2 yang berpegang pada azas terintegrasi, dimana didalam penjelasan terkait pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Selain itu, Pasal 62 dan 63 PP Nomor 14/2014 ini juga bertentangan dengan persyaratan pendirian LAZ yang salah satunya harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam, tapi masih banyak keberadaan LAZ yang belum terdaftar sebagai ormas Islam, karena hirarki atau struktur organisasi ormas ada dari tingkat pusat hingga tingkat paling bawah yaitu kelurahan.
Problematika lagi dalam PP Nomor 14/2014 ini yakni dalam Pasal 66 yang menyatakan bahwa “Dalam hal di suatu komunitas dan wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ, kegiatan Pengelolaan Zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla sebagai amil zakat”, namun dalam UU No. 23 tahun 2011 dalam Pasal 38, Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
“Untuk itu kita perlu sikapi bersama supaya eksistensi LAZ maupun BAZNAS bisa berjalan optimal melalui manajemen dan koordinasi yang sinergis dan laporan serta audit yang kredibel supaya masyarakat dhuafa dan mustahiq bisa lebih sejahtera dengan terlebih dahulu mengoptimalkan fungsi BAZNAS dan LAZ yang ada meskipun terdapat keterbatasan regulasi,” paparnya.
“Keterlibatan pemerintah seperti Kementerian Agama harus ditempatkan pada semangat menjaga akuntabilitas pengelolaan zakat untuk meminimalisir penyimpangan yang terjadi sehingga zakat betul-betul dapat membantu negara dalam upaya pengentasan kemiskinan, perbaikan sosial dan pemberdayaan masyarakat” pungkasnya. (ima/gt)