Setengah Abad Ponpes Pabelan

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Magelang – Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifudin, pagi ini hadir di Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Kab. Magelang guna menghadiri Milad ke-50. Menteri Agama bersama Kasubdit Pontren dan Staf khusus hadir didampingi oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Ahmadi, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DIY Nizar. Dalam acara tersebut hadir pula Gubernur Jawa Tengah yang diwakili oleh Kepala Biro Bintal, KH. Maimun Zubair, Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) selaku Ketua Badan Wakaf Pondok Pabelan, Mardiyanto, Achmad, Bupati Magelang dan para ulama Kabupaten Magelang.

Kedatangan Menag bersama rombongan disambut Pimpinan Ponpes Pabelan, KH. Ahmad Mustofa. Dalam sambutannya, KH. Ahmad Mustofa mengisahkan bahwa Ponpes Pabelan didirikan oleh KH. Hamam Ja’far pada tahun 1965. Berawal dari kondisi masyarakat yang kurang memperhatikan kehidupan agama serta mengedepankan urusan dunia, maka dirintis pendidikan pondok pesantren dengan hanya 25 santri. Metode kemandirian dalam usaha untuk mengembangkan kehidupan dengan tetap berpedoman pada nilai nilai agama dengan mengkaji ilmu ilmu agama.

Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa kurikulum di Pondok Pesantren yang selalu terjaga antara lain : 1) cinta ilmu, belajar bagaimana mencintai belajar, 2) keikhlasan, hidup dengan suasana damai, saling menghargai, 3) mencintai bangsa Indonesia sebagai rumah besar, tidak ada upaya untuk memecah persatuan, merongrong kewibawaan maupun membanggakan bangsa lain. Pesantren ini telah memberikan sumbangan besar kepada bangsa dengan mencetak lulusan yang berhasil dalam kiprahnya di segala bidang.

Menteri Agama dalam sambutan dan pengarahannya menyampaikan apresiasi setinggi tingginya karena peran dan fungsinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjalin keragaman budaya dan bahasa dalam sebuah lembaga pendidikan yang khas Indonesia, Pondok Pesantren Pabelan.

Sejak ratusan lalu, Pondok Pesantren sebuah institusi yang mencerminkan betapa akulturasi budaya yang baik bisa dikatakan sekaligus berinovasi menciptakan hal yang kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Kekuatan ponpes sebagai lembaga pendidikan berada pada transformasi nilai kebajikan kepada para santri yang akan sangat berguna di masyarakat. “Santri tidak hanya mengetahui, tetapi bisa melaksanakan di masyarakat,” tegasnya.

Dengan perkembangan yang luarbiasa, pesantren semakin luas bidang pendidikannya tidak hanya pendidikan keagamaan tetapi juga pendidikan formal, pendidikan vokasional dan keterampilan. “Tetapi paling tidak ada tiga ciri yang berpengaruh besar bagi Indonesia. 1) Pondok pesantren mengajarkan pendidikan Islam yang moderat. 2) Pondok pesantren memiliki kita besar yang tidak mudah terpancing untuk menyalahkan orang lain. Pesantren tidak hanya menghargai perbedaan melainkan memiliki kearifan dalam menghadapi perbedaan. 3) Pondok pesantren selalu mengajarkan cinta tanah air. Kewajiban menjaga tanah air menjadi hal yang tidak terpisahkan pada seorang muslim. “Bahkan menjadi indikator keimanan,” tegas LHS.

Dalam memahami nilai keikhlasan, LHS menyampaikan bahwa metodologi menjadi hal yang jauh lebih penting dari pada materi pelajaran dan jiwa pada para ustadz menjadi jauh lebih penting daripada metodenya. Artinya seluruh pendidikan disampaikan menurut konteksnya dengan dikuatkan dengan keteladanan para ustadz. (fat)