081128099990

WA Layanan

081393986612

WA Pengaduan

RESONANSI LANGIT: Menjahit Luka Dunia dengan Detak Dzikrullah

Picture of Team Humas Jateng

Team Humas Jateng

Oleh: Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE. – Dosen Fak. Tarbiyah UIN Raden Mas Said Surakarta

Di tengah hiruk-pikuk peradaban modern yang bising, kita menyaksikan sebuah paradoks yang menyedihkan. Teknologi telah menghubungkan kita secara digital, namun secara batiniah, umat manusia—termasuk kaum Muslimin—terasa semakin terfragmentasi. Kita terkotak-kotak oleh ego sektarian, batas geografis, dan ambisi politik. Di sinilah, sebagai seorang pejalan sunyi (salik), saya melihat bahwa solusi atas keterpecahan ini tidak semata-mata terletak pada meja diplomasi, melainkan pada bilik-bilik jantung kita yang bergetar menyebut Nama-Nya.

Dunia hari ini sedang “sakit” karena keringnya spiritualitas. Kita terlalu sibuk mendefinisikan siapa “kami” dan siapa “mereka”, hingga lupa bahwa dalam pandangan haqiqat, kita semua adalah pancaran dari Cahaya Yang Satu.

Dzikir sebagai Frekuensi Universal

Dzikrullah (mengingat Allah) seringkali disederhanakan hanya sebagai gerak lisan memutar tasbih. Padahal, dalam kacamata tasawuf, dzikir adalah sebuah frekuensi. Ia adalah upaya menyelaraskan detak jantung manusia yang fana dengan kehendak Ilahi yang abadi.

Ketika seorang Muslim di pelosok desa di Jawa melafalkan “La ilaha illallah” dengan penuh penghayatan, dan seorang Muslim lain di Gaza, di Istanbul, atau di New York melakukan hal yang sama, sejatinya mereka sedang berada dalam satu gelombang spiritual. Dzikir adalah bahasa universal ruh. Di hadapan Tuhan, tidak ada lagi paspor Indonesia, Arab, atau Eropa. Yang ada hanyalah hamba yang rindu pulang ke asal-usulnya.

Inilah yang disebut Wahdah asy-Syuhud (kesatuan penyaksian). Jika kita mampu mengajak umat ini untuk tidak sekadar berdzikir di lisan, tetapi “mendzikirkan” rasa dan perbuatannya, maka ego keakuan (ananiyah) yang menjadi sumber konflik akan lebur (fana).

Peran Ruhani Indonesia

Indonesia memiliki modal spiritual yang luar biasa besar untuk memimpin orkestra perdamaian ini. Islam di Nusantara tumbuh subur dengan tanah tasawuf yang ramah, yang mengedepankan cinta (mahabbah) di atas amarah. Karakter keberagamaan kita yang moderat dan meditatif adalah aset yang didambakan dunia.

Bayangkan jika jutaan Muslim Indonesia menjadikan dzikir bukan sebagai ritual individual semata, melainkan sebagai energi kolektif. Energi yang dipancarkan untuk mendoakan saudara seiman dan sesama manusia di seluruh dunia. Ini bukan khayalan metafisik belaka. Fisika kuantum mulai memahami bagaimana kesadaran kolektif dapat mempengaruhi realitas. Dalam bahasa agama, ini adalah kekuatan doa yang menembus Arsy.

Kita perlu menyatukan jiwa rakyat Indonesia terlebih dahulu. Mengikis kebencian politik lokal dengan air kesejukan dzikir. Setelah rumah kita tenang, barulah getaran damai itu bisa kita resonansikan ke dunia luar.

Menuju “Satu Rasa” dalam Tuhan

Menyatukan jiwa Muslim dunia melalui Dzikrullah berarti membangun Ukhuwah Ruhaniyah (persaudaraan jiwa). Persaudaraan yang tidak luntur karena perbedaan mazhab fiqih atau pandangan politik.

Ketika kita berdzikir, kita diajarkan untuk meniadakan diri. Saat “diri” ini tiada, maka tidak ada lagi alasan untuk menyakiti orang lain. Seorang ahli dzikir (dzakir) tidak akan mampu membenci, karena di setiap wajah makhluk, ia melihat jejak Penciptanya.

Jika gerakan “Dzikir Global” ini bisa kita bumikan—bukan sebagai demonstrasi massa di jalanan, melainkan sebagai gerakan kesadaran di setiap surau, masjid, kantor, dan rumah—maka kita sedang menenun kembali kain peradaban yang robek. Kita sedang mengirimkan sinyal damai bahwa Islam bukan ancaman, melainkan oase ketenangan bagi jiwa yang gersang.

Mari kita mulai dari nafas kita sendiri. Tariklah nafas dengan kesadaran, dan hembuskan dengan penyebutan Nama-Nya. Biarkan getaran itu merambat dari dada kita, menyapa saudara kita di Palestina, menyelimuti sahabat kita di belahan barat dan timur.

Dunia tidak butuh lebih banyak debat. Dunia butuh lebih banyak hati yang tenang. Dan ketenangan itu, kuncinya hanya satu: Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub—Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.

Dari ketenteraman hati individu, akan lahir kedamaian Indonesia. Dari kedamaian Indonesia, akan terbit fajar persatuan bagi dunia.(S)

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print
Skip to content