Sungguh ironis, Indonesia menduduki peringkat ke-7 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan angka perkawinan anak tertinggi. Selain memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), perkawinan anak juga memengaruhi Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKK).
Siapa pun calon pengantinnya, baik salah satu maupun kedua mempelai masih berusia anak, maka perkawinan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak anak. Pelanggaran hak anak juga merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkawinan anak, selain mengancam kegagalan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan IPM, juga memiliki korelasi yang positif dengan IKK. Dari segi pendidikan, pasti banyak anak yang putus sekolah karena sebagian besar anak yang menikah dibawah usia 18 tahun tidak melanjutkan sekolahnya. Dampak lain dari perkawinan anak antara lain, kurangnya kesiapan fisik anak perempuan untuk mengandung dan melahirkan, meningkatkan risiko angka kematian ibu dan anak, ketidaksiapan mental membina rumah tangga akan meningkatkan risiko KDRT, perceraian, ketidaksehatan mental, pemberian pola asuh yang tidak tepat, dan berpotensi meningkatkan risiko anak stunting (tengkes).
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perkawinan anak, antara lain ekonomi keluarga, pendidikan rendah, interpretasi agama dan keluarga, serta stereotip pada anak perempuan. Fenomena lainnya yang menyebabkan tingginya angka perkawinan anak adalah tingginya tingkat kehamilan di kalangan perempuan muda.
Di satu sisi, anak merupakan generasi muda yang memiliki peran penting dalam menjaga dan meneruskan cita-cita bangsa. Sebab itu, upaya perlindungan dan pemenuhan hak bagi setiap anak merupakan kewajiban bagi negara.
Dalam upaya pencegahan perkawinan anak, Pemerintah melakukan beberapa strategi diantaranya, menjamin pelaksanaan serta penegakan regulasi dan meningkatkan kapasitas serta optimalisasi tata kelola kelembagaan, menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak, meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak, optimalisasi kapasitas anak dengan meningkatkan kesadaran dan sikap anak terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif serta peningkatan partisipasi anak dalam pencegahan perkawinan, dan menguatkan peran orangtua, keluarga, organisasi sosial/kemasyarakatan, sekolah, dan pesantren untuk mencegah perkawinan anak.
Upaya lainnya yang ditempuh Pemerintah adalah mencanangkan pemberlakuan Sertifikasi Nikah pada 2020 yang wajib dimiliki oleh setiap pasangan yang ingin menikah untuk menurunkan angka perceraian, pernikahan di bawah umur, dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pemerintah menargetkan tahun 2030, tidak ada lagi peristiwa perkawinan anak di Indonesia. Sudah menjadi tugas kita semua untuk memutus lingkaran setan perkawinan anak. Pemerintah bahkan meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA). Kita harus bergotong royong mensukseskan program pemerintah dalam menurunkan angka pernikahan dini menuju generasi berkualitas menuju Indonesia Emas. Begitupun dengan Kementerian Agama.
Guna upaya percepatan pencegahan perkawinan anak, Kementerian Agama mengambil langkah seperti, melakukan penyuluhan kepada masyarakat melalui penyuluh agama, pembinaan dan sosialisasi kepada pelajar melalui madrasah dan sekolah, serta kegiatan bimbingan perkawinan bagi mahasiswa.(Duta/NBA/bd)