Cilacap – Penurunan kualitas moral generasi muda akhir-akhir ini semakin memprihatinkan. Hal ini tidak lain karena kuatnya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Kuatnya arus informasi kian tak terbendung. Diperparah dengan maraknya berita hoax yang begitu cepat menyebar dan meracuni mental remaja.
Keadaan ini harus kita sikapi secara cepat dan bijaksana dalam menangani setiap masalah yang muncul di lapangan. Bagaimanapun yang namanya anak muda, aliran darahnya masih kecang sehingga memerlukan kearifan dalam pendidikannya. Karenanya, sebagai kalangan pendidik, kita harus tanggap sasmita. Salah satunya melalui peningkatan kualitas pendidikan agama di sekolah.
Pernyataan tersebut dikemukakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cilacap melalui Penyelenggara Katolik, Yusup Adi Prajoko, Kamis (5/4) pada acara Peningkatan Kompetansi guru agama Katolik di Hotel Fave Cilacap.
Dikemukakan lebih lanjut, secara umum guru hanya mengetahui bahwa tugasnya hanyalah sebatas mengajar. Hal inilah yang menyebabkan tidak tertanganinya masalah yang menyerang moralitas. Pengajaran hanya mengedepankan aspek penguasaan ilmu pengetahuan. Lain halnya dengan pendidikan yang mana unsur moralitas akan menjadi salah satu tolak ukur yang mentukan keberhasilan siswa.
“Marilah kita kembali kepada jati diri kita sebagai pendidik, yakni guru yang sejati. Guru adalah sesosok yang bisa digugu dan ditiru (dipercaya dan dicontoh). Sehingga dalam melaksanakan tugas tidak hanya sebatas menyampaikan ilmu, melainkan menanamkan nilai-nilai agama itu sendiri, baik teori maupun prakteknya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan prinsip ingarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani. Saya yakin kita akan mampu berlomba dengan arus globalisasi. Paling tidak mengerem penurunan kualitas moralitas generasi muda,”Tagasnya.
Dikatakan pula bahwa, untuk memberikan pendidikan agama Katolik di sekolah, khususnya di Kabupaten Cilacap tidaklah mudah. Dengan jumlah umat sekitar 9.751 yang tersebar di wilayah yang sangat luas, sangat sulit untuk mengumpulkan dalam satu tempat. Keadaan ini memaksa guru agama Katolik harus sering berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain.
Dicontohkan seperti di Kota Cilacap misalnya, pihaknya pernah menerapkan pengumpulan di satu titik. Ternyata teknik tersebut tidak berlangsung lama. Berbagai alasan karena kendala jarak dan ketiadaan tenaga pengantar akhirnya kembali seperti semula. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah-daerah yang mana lokasinya tidak mudah dijangkau dengan kendaraan. Tentunya memerlukan kesabaran dan perjuangan sebagai bagian dari implementasi nilai-nilai agama.(On/bd)