Bagaimana Penangan Konflik dan Kerukunan di Kota Semarang? Begini Penjelasan Penyuluh Agama kepada Mahasiswa Mancanegara

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Semarang – Virus kerukunan dan perdamaian di tengah multikultural sudah selayaknya digaungkan dalam skala internasional agar Indonesia menjadi barometer bagi masyarakat dunia dalam mengelola keberagaman, tutur Syarif Hidayatullah, Penyuluh Agama Islam Fungsional Kankemenag Kota Semarang selaku Sekretaris FKUB saat mendampingi tamu mahasiswa lintas agama dari tujuh negara pada kegiatan Field Visit dalam serangkaian acara UMAP Discovery Camp Winter 2023 di Kantor FKUB Kota Semarang pada Senin (13/2) kemarin.

Kegiatan kolaborasi yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Sultan Agung atau Unissula Semarang ini memang bertujuan untuk menyuguhkan paparan tentang pentingnya merajut kerukunan ditengah keragaman dan ditengah potensi konflik serta penanganannya.

“Kami ingin agar para mahasiswa ini melihat bagaimana upaya FKUB dalam merawat kerukunan ditengah potensi konflik akibat keragaman, baik multietnik, multireligi maupun multikultur,” papar Rio Pribadi selaku Intepreter pertemuan ini.

Syarif mengutarakan bagaimana mengelola konflik bernuansa agama agar tidak menimbulkan kekerasan dalam rentang waktu tahun 2010 sampai dengan tahun 2020 di Kota Semarang.

“Semarang meskipun relatif kondusif, tetap saja ada percikan konflik bernuansa agama  yang harus dikelola agar tidak terjadi konflik horisontal yang menyebabkan kekerasan. Percikan ini biasanya bersumber dari perbedaan paham keagamaan, cara penyiaran keagamaan dan pendirian rumah ibadat,” ungkapnya.

“Cara penanganannya kuncinya dengan profiling dan komunikasi langsung baik dialog maupun silaturahmi,” imbuh Syarif.

Terdapat tujuh negara yang mengirimkan mahasiswa dalam event ini yaitu Taiwan, Filipina, Paraguay, Hongkong, Macau, Myanmar, Bangladesh dan Malaysia.

Salah satu mahasiswa dari Taiwan, Chia Chih Hsiao menanyakan tentang bagaimana kebebasan memilih agama di Kota Semarang dan adakah ruang untuk warga yang memilih tidak beragama dan bagaimana pencantumannya dalam KTP.

Syarif menjawab bahwa di Indonesia terdapat konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah serta kebebasan berkeyakinan, yang berarti adanya jaminan kebebasan memilih agama yang diyakininya. Termasuk saat ini ada beberapa warga yang memilih tidak mau mencantumkan agama dalam kolom KTP nya yaitu penghayat kepercayaan, itupun dilindungi dan difasilitasi oleh negara.

Ada pula pertanyaan terkait konflik yang diakibatkan oleh suara adzan yang dilontarkan oleh mahasiswi dari Malaysia, Nur Subhanie.

“Kalau konflik yang diakibatkan oleh penggunaan pengeras suara memang ada, seperti kasus kerusuhan di Tanjung Balai Sumatera Utara, namun bukan dikarenakan oleh lantunan adzan,” kata Syarif.

Jalife Aleman, mahasiswa dari Paraguay juga urun mengajukan pertanyaan terkait bantuan pemerintah dalam pembangunan rumah ibadat.

“Pemerintah sangat jarang memberi bantuan secara keseluruhan dalam pembangunan rumah ibadat, hanya di lokasi tertentu yang dibangun secara utuh, seperti daerah tertimpa bencana dan daerah rawan, justru kebanyakan dibangun dari swadaya masyarakat. Pemerintah hanya memberi bantuan untuk keperluan renovasi dan sarana prasarana tertentu saja,” beber Syarif.

Dari tiga contoh pertanyaan di atas, setidaknya dapat dijadikan gambaran, betapa bangganya kita sebagai bangsa Indonesia yang multikutural dengan konstitusi yang hebat.

“Kita sebagai bangsa Indonesia sepatutnya bangga  memiliki sebuah konstitusi yang mampu meminimalisir perilaku diskriminatif dan memberi kesadaran kepada warga negaranya untuk sadar hidup ditengah keanekaragaman, baik bahasa, budaya, etnik maupun agama,” pungkas Syarif. (sy/bd)