Pati – “Pandai-pandailah bersyukur kepada Allah”, begitu nasihat Kepala Kankemenag Kab. Pati, Imron Rosyidi kepada para ASN Kemenag Pati memulai ceramah kajian pertama pada kegiatan pengajian bulanan di aula kantor setempat, Senin (28/1/2019).
Imron lalu melanjutkan dengan kalimat “Jika kita pandai bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat yang kita terima. Tetapi jika kita ingkar atau kufur, maka nikmat itu tidak saja dikurangi, tetapi siksa Allah sangat pedih”. “Bertebaran ayat dalam al Qur’an dan hadits yang memerintahkan kita untuk menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur”, kata Imron tegas.
Kita mungkin sering menjumpai orang yang selalu mengeluh karena keterbatasannya. Dia tidak mau melihat kelebihan atau berbagai nikmat yang ia peroleh. Dia selalu membandingkannya dengan orang lain yang menurutnya memiliki banyak kelebihan: pangkat, rezeki, kedudukan, status sosial, dan sebagainya, sehingga ia protes kepada Allah. Allah pun dianggap tidak adil. Sebab, mengapa dirinya berbeda dengan orang lain yang lebih banyak diberi nikmat. Padahal, jika saja mau menengok ke bawah sedikit saja ia akan melihat bahwa ia sesungguhnya telah memperoleh nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Mulai nikmat berupa hidup, harta, kesehatan, keselamatan, penglihatan, pendengaran, akal, ilmu, tempat tinggal dan seterusnya. Semua adalah karunia dan pemberian Allah, terang Imron.
Bentuk syukur paling sederhana ialah mengucapkannya melalui bibir. Selanjutnya ucapan ‘syukur’ itu diwujudkan dalam tindakan. Misalnya, karena memiliki nikmat berupa kesehatan yang prima, maka kesehatan itu dipakai untuk bekerja keras, mencari ilmu, menjalankan aktivitas-aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah, dan beramal sholeh. Jika memiliki nikmat berupa ilmu yang lebih, ilmu itu disebarluaskan dan diajarkan kepada orang yang belum bisa. Sebab, ilmu yang diajarkan kepada orang lain selain bermanfaat, ia tidak akan pernah habis dibagi. Ilmu justru berkembang dengan disebarluaskan kepada orang lain. Karena itu, tidak ada ceritanya ilmuwan kehabisan ilmu karena dibagi-bagi dengan diajarkannya kepada orang lain, paparnya.
Begitu juga jika seseorang memiliki nikmat berupa kedudukan atau jabatan publik, maka syukur atas nikmat itu diwujudkan dengan perilaku mengayomi atau melindungi para anak buahnya dan bersikap adil kepada mereka serta mensejahterakannya. Dengan demikian, mensyukuri nikmat berupa jabatan artinya tidak menyia-nyiakan waktu selama memiliki jabatan itu dengan aktivitas hura-hura yang tidak ada manfaatnya baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, ujarnya.
Kesadaran semacam itu menjadikan hidup dilalui dengan penuh makna. Hidup bukan untuk hidup. Hidup merupakan kesempatan untuk beramal sholeh dan berkarya sebagai makhluk hamba Allah. Hidup penuh makna artinya tidak terlalu bergembira dan berpesta pora tatkala memperoleh keberhasilan atau kesuksesan dan sebaliknya tidak larut dalam kesedihan yang mendalam jika tertimpa musibah. Hidup harus didasari kepercayaan bahwa semuanya, baik yang menyenangkan atau menyusahkan, yang menguntungkan atau yang merugikan, dan sebagainya datang dari Allah dan kembali kepada Allah, katanya.
Sebagaimana janji Allah, karena bersyukur nikmat akan bertambah. Tentu ini tidak tiba-tiba bertambah. Harus ada upaya dan ikhtiar dari manusia itu sendiri lewat kerja keras dengan selalu perpikir positif terhadap semua ketentuan dan pemberian Allah. Dengan berpikiran positif, maka semua akan tampak keindahannya. Sebaliknya, jika berpikiran negatif, maka semuanya akan tampak keburukannya. Yang baik pun akan tampak jelek. Karena itu hidup hakikatnya adalah bagaimana memaknai semua yang terjadi. Dengan demikian, jika kita selalu berpikiran positif terhadap apa saja yang ada di sekitar kita maka hidup menjadi sangat indah. Sebaliknya, jika selalu berpikiran negatif, hidup akan sangat susah. Tidak sedikit orang akhirnya mengakhiri hidupnya dengan sia-sia karena gagal memaknai hidup dengan indah, ujarnya panjang lebar.
Selain itu, kita harus yakin bahwa semua ketentuan Allah selalu ada hikmah di baliknya. Tidak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Semua adalah tarbiyah bagi manusia. Sayangnya, tidak banyak manusia yang menyadarinya. Dengan bersikap seperti itu, hidup menjadi tenang. Orang yang mau bersyukur pada hakikatnya dia dekat dengan Allah. Karena itu, bagaimana tidak tenang, karena dia selalu dekat dengan Yang Maha Pemberi Hidup. Maka pandai-pandailah bersyukur, tegas Kepala Kankemenag Kab. Pati mengakhiri uraian kajiannya. (Am/bd)