Rembang — Penguatan Lembaga Kewirausahaan di pondok pesantren merupakan salah satu program yang diutamakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan visi Kementerian Agama yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.
Untuk mewujudkan program tersebut, berbagai lifeskill di kalangan ponpes telah berkali-kali diadakan oleh Kemenag. Usaha ini tak lain bertujuan untuk memberdayakan santri, sehingga memiliki ketrampilan tertentu yang bisa dikembangkan menjadi sebuah usaha.
Kasi Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, Muhtasit mengungkapkan hal tersebut ketika memberikan materi Pendidikan Kemasyarakatan bagi santri se-eks Karesidenan Pati yang digelar di Pondok Pesantren Alhamdulillah, Sulang, Rembang, selama dua hari (17-18/2).
Dikemukakannya, sebagaimana prinsip pembangunan pendidikan islam di antaranya adalah Memperkuat ciri khas keagamaan dan lifeskill sebagai faktor keunggulan minimal seluruh satuan pendidikan Islam dan mengoptimalkan peran pendidikan Islam dalam pengembangan keagamaan, kesejahteraan sosial serta kesatuan dan persatuan bangsa.
Berbagai program yang ditujukan kepada ponpes antara lain Pengembangan ketrampilan pembuatan tahu, peci, menjahit dan jurnalistik, juga agribisnis misalkan pemberian bantuan taktor dan mesin perontok padi.
“Program-program tersebut tak lain bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan secara umum meningkatkan harkat dan martabat pibadi wirausahawan serta bansga dan negara,” ujarnya.
Kepada para peserta, Muhtasit mengutarakan, wirausaha sebenarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam Islam. Keilmuan Islam juga mengajarkan tentang bagaimana mengatur kehidupan ekonomi. Selain hukum-hukum ubudiyyah, Fiqih juga menerangkan aturan tentang berniaga, akad jual beli, hutang piutang, dan sebagainya. “Jadi wirausaha sebenarnya juga merupakan pengamalan dari tafaqquh fiddin,” tandasnya.
Ditegaskan pula, salah satu kiat dalam berwirausaha adalah kesungguhan sikap. Dalam berwirausaha, tidak ada istilah malas. “Jika malas nanti akan tertinggal, dan usahanya akan morat-marit. Jadi dari sekarang hilangkanlah sifat malas tersebut,” serunya.
Sementara untuk memulai sebuah usaha, Muhasit menyarankan para santri untuk memulai usaha skala kecil/mikro terlebih dahulu. “Pada umumnya wirausaha memulai usahanya dari usaha kecil/mikro, maka mulailah gagasan dg mendirikan usaha kecil untuk mencari pengalaman terlebih dahulu. Bila sudah berpengalaman, anda bisa memulai usaha yang lebih besar,” pungkasnya.—Shofatus Shodiqoh