(Ketika Negara, Nurani, dan Bakti kepada Orang Tua Diuji)
Oleh:
Dr. H. Susilo Surahman, S.Ag., M.Pd., MCE.
Momentum Hari Sosial yang diperingati setiap 22 Desember seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau unggahan simbolik di media sosial. Tahun ini, Hari Sosial justru hadir di tengah ramainya perbincangan publik mengenai hak-hak sosial kelompok rentan, khususnya para pensiunan dan lanjut usia, yang kembali menjadi isu viral di ruang digital. Situasi ini menguji satu hal mendasar: sejauh mana keadilan sosial benar-benar hidup dalam praktik bernegara dan bermasyarakat.
Sebagai akademisi, saya berpandangan bahwa Hari Sosial adalah ruang refleksi kritis, bukan sekadar peringatan normatif. Ia menuntut keberpihakan yang jelas terhadap mereka yang telah berjasa namun kerap terpinggirkan oleh sistem yang lamban dan kurang peka. Dalam konteks ini, keadilan sosial bukan hanya konsep konstitusional, melainkan juga panggilan moral.
Fenomena viral seputar hak pensiunan—baik soal keterlambatan pencairan, ketidakjelasan kebijakan, maupun perbedaan perlakuan—menunjukkan masih adanya jarak antara kebijakan dan rasa keadilan masyarakat. Media sosial menjadi ruang pelampiasan karena saluran formal sering kali dianggap tidak cukup responsif. Ketika isu ini ramai diperbincangkan, sesungguhnya yang mengemuka bukan semata soal angka dan anggaran, melainkan soal penghargaan terhadap martabat manusia, terutama mereka yang telah mengabdikan hidupnya bagi negara.
Masalah sosial yang muncul di sini bersifat spesifik dan serius: lemahnya sensitivitas sosial dalam tata kelola kebijakan publik. Kelompok lanjut usia dan pensiunan sering ditempatkan sebagai objek administratif, bukan subjek bermartabat. Padahal, di banyak keluarga Indonesia, merekalah orang tua yang masih menjadi penopang moral dan sejarah hidup. Ketika hak mereka terabaikan, yang terganggu bukan hanya kesejahteraan ekonomi, tetapi juga rasa keadilan kolektif.
Dari perspektif analisis sosial, persoalan ini mencerminkan paradoks negara kesejahteraan. Di satu sisi, regulasi menjamin perlindungan sosial; di sisi lain, implementasinya kerap tersendat oleh birokrasi dan minimnya empati kebijakan. Negara yang kuat bukan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari kemampuannya melindungi yang lemah. Keadilan sosial, sebagaimana diajarkan dalam ilmu sosial dan filsafat politik, menuntut keberimbangan antara efisiensi sistem dan kepekaan kemanusiaan.
Nilai agama memberikan landasan moral yang tegas dalam persoalan ini. Dalam ajaran Islam, misalnya, bakti kepada orang tua ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi, bahkan disejajarkan dengan perintah tauhid. Menghormati dan menyejahterakan orang tua bukan hanya kewajiban keluarga, tetapi juga tanggung jawab sosial dan negara. Ketika sistem sosial abai terhadap kelompok lanjut usia, sesungguhnya yang dilanggar bukan hanya etika publik, tetapi juga nilai-nilai keagamaan yang menjunjung tinggi keadilan dan kasih sayang.
Bahasa kebijakan sering kali dingin dan teknokratis, namun persoalan sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan logika administratif. Dibutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi—yang melihat pensiunan bukan sebagai beban anggaran, melainkan sebagai simbol pengabdian. Di sinilah pentingnya menjadikan nilai agama dan etika sosial sebagai kompas moral dalam pengambilan keputusan publik.
Hari Sosial seharusnya menjadi ajakan reflektif bagi semua pihak: pemerintah, masyarakat, dan kita sebagai individu. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan yang adil dan transparan, masyarakat perlu mengawal dengan kritik yang santun dan konstruktif, sementara kita sebagai warga dan anak bangsa perlu menumbuhkan empati sosial dalam kehidupan sehari-hari. Kepedulian sosial tidak selalu menunggu kebijakan besar; ia bisa dimulai dari cara kita memandang dan memperlakukan para orang tua di sekitar kita.
Pada akhirnya, Hari Sosial bukan hanya soal memperingati, tetapi meneguhkan kembali nurani kolektif bangsa. Keadilan sosial akan kehilangan makna jika tidak menyentuh mereka yang paling membutuhkan. Di tengah hiruk-pikuk isu viral dan perdebatan publik, semoga Hari Sosial menjadi pengingat bahwa negara yang beradab adalah negara yang memuliakan orang tuanya—bukan hanya dalam kata, tetapi dalam kebijakan dan tindakan nyata. Selamat Hari Sosial







