Semarang (Humas) – Agama hendaknya tidak dijadikan sebagai simbol, karena hal ini dinilai dapat memicu konflik umat beragama. Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (Kapus KUB) Kemenag RI, Wawan Djunaedi, dalam kegiatan Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama bagi FKUB dan admin KUB yang diadakan oleh Kanwil Kemenag Prov. Jateng, Jum’at, (18/8).
Menurut Wawan, fenomena simbolisme agama ini sudah umum terjadi di semua agama. Simbolisme agama ini, akan mudah memprovokasi orang yang memicu terjadinya konflik.
“Contohnya, doa jemaah Kristen Ortodoks yang menggunakan bahasa Arab sempat dikira sebagai Kristenisasi, karena ada anggapan bahasa Arab itu bahasa umat Islam,” ungkap Wawan.
Untuk mencegah konflik antar umat beragama, perlu ada moderasi beragama dengan rasionalitas beragama. Moderasi beragama sangat penting dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi, hingga politik.
“Mengapa harus moderasi beragama? Karena passion masyarakat terhadap agama sangat tinggi. Jadi hal apapun yang terjadi di masyarakat dan memicu konflik akan dikaitkan dengan agama, dikasih bumbu-bumbu agama. Apalagi menjelang tahun politik, tren konflik agama selalu meningkat,” sambung Wawan.
Dalam kesempatan ini, Wawan juga menyampaikan prosedur pengajaran Pendidikan Agama untuk peserta didik, utamanya yang minoritas. Sesuai dengan PMA nomor 16 tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Sekolah yang memiliki siswa wajib menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik satu agama minimal 15 siswa di satu kelas. Kalau tidak ada 15 siswa, maka sekolah tersebut wajib menitipkan peserta didik tersebut di sekolah lain.
“Pengajarnya pun dari ormas yang telah di SK kan dari Kepala Kemenag daerah setempat,” pungkasnya. (RK)