Semarang – Sebagai negara yang memiliki latar belakang keberagaman budaya, agama, bahasa dan suku yang sangat majemuk Indonesia perlu melakukan pendekatan strategik yang dapat dijadikan cikal bakal gerakan nasional untuk menjaga keutuhan NKRI menuju Indonesia yang berdaulat dan bermartabat melalui pendidikan multikuktural.
Salah satu bentuk langkah strategis menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah untuk memahami tentang keberagaman Indonesia melalui kegiatan Workshop Pendidikan Muktikultural setingkat SMA yang dilaksanakan pada tanggal 23-26 Februari 2016 di Hotel Muria Semarang.
“Kita bisa saling berdampingan, bersama-sama membangun Indonesia meski tidak sedikit ada halangan maka dari itu pendidikan multikultural perlu dilakukan di setiap jenjang pendidikan,” pesan Kakanwil mengawali pembukaan Workshop Pendidikan Muktikultural setingkat SMA
Pendidikan Multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugrah Tuhan). Dengan menyadari dan memahami adanya perbedaan maka kita dapat menata hati, kata dan fisik dalam peragaulan karena berhubungan dengan kemampuan kita memahami orang lain.
“Pengembangan muktikultural adalah masalah kerukunan yang merupakan misi kita semua, khususnya bagi Kementerian Agama,” tandas Ahmadi.
Kerukunan terbangun bukan hanya dari agama saja namun dari semua aspek kehidupan. Berbicara multikultural muaranya adalah kerukunan.
Multikultural dan Radikalisme
Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah masyarakat majemuk, sehingga pencegahan radikalisme bisa dilakukan dengan menerapkan pendidikan multikultural dan anti-terorisme sejak dini.
Radikalisme erat sekali bahkan identik dengan masalah agama, ketika kekurangpahaman tentang ajaran agama dan pengaruh dari ajaran tertentu untuk mengajak dan memaksa kita keluar dari keyakinan dan pemahaman tentang agama kita.
Ahmadi berpesan, “Pahamilah agama dan akidah kita masing-masing dengan benar.” Dengan demikian, konsep radikalisme yang berusaha mempengaruhi kita setidaknya tidak kita terima dengan serta merta tanpa ada pencarian informasi dan wawasan tentang pemahaman agama yang benar.
Lemahnya pendidikan multikultural di masyarakat ditambah lagi hampir seluruh daerah di Indonesia berubah menjadi heterogen. Akan tetapi perubahan cepat ini tidak diikuti oleh perubahan cara pandang masyarakat. Hal inilah yang menjadi lahan subur bagi penyebaran paham radikal. Dimana radikalisme bersumber pada sempitnya wawasan.
Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang didirikan dari berbagai macam suku, agama, ras, dan etnik. Oleh karena itu diperlukan pendidikan multikultural di setiap jenjang pendidikan yang mengajarkan penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi muda. (wulan/gt)