Apa Saja Standar Penilaian Pelayanan Publik? Begini Menurut Ombudsman

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Semarang, Oktanto Adi Murtono selaku Perencana Pertama Kantor Kementerian Agama (Kankemenag) Kota Semarang mengikuti Forum Grup Diskusi (FGD) Revitalisasi KUA yang digelar oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Prov. Jateng.

Selain perencana, kegiatan tersebut diikuti oleh Kepala Seksi (Kasi) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, bendahara dan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan revitalisasi tahun 2022 se-Jawa Tengah.

Selama 2 hari, peserta mengikuti kegiatan dimaksud di Griya Persada Convention Hotel dan Resort Bandungan Kabupaten Semarang.

Hadir Siti Farida Kepala Ombudsman RI perwakilan Jawa Tengah, menerangkan tentang latar belakang didirikannya Ombudsman. “Program dan tagline Kemenag saat ini lekat dengan pelayanan. “Dasar konstitusional penyelenggaraan pelayanan publik terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 45 alinea 4 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut menjaga ketertiban dunia,” tuturnya pada 30/5/2022

“Hal tersebut dilaksanakan sebagai dasar pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, yang kemudian diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2008, UU Nomor 25 Tahun 2009, UU Nomor 30 Tahun 2014, UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 5 Tahun 2014,” sambungnya.

“Untuk menjamin pelayanan publik dapat terlaksana dengan baik, maka didirikanlah Ombudsman yaitu pada saat pemerintahan Presiden Gusdur,” imbuhnya.

Dalam keterangannya, ia menyampaikan maladministrasi dalam pelayanan publik berarti pelayanan yang jelek, yaitu pelayanan yang tidak sesuai dengan standar dan perilaku pelayan publik. “Masyarakat akan puas jika pelayanan memuaskan, atau minimal meminimalisir potensi-potensi praktik korupsi,” ujarnya.

Menurut penuturannya, peminimalisiran dapat dilakukan dengan cara mematuhi ketentuan pelayanan publik yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2009.

Pada kesempatan tersebut, ia menyampaikan hasil penilaian zona kepatuhan pemerintah daerah di Jawa Tengah masih belum berada di zona kepatuhan yang tinggi. ‘akabupaten Boyolali dan Kota Pekalongan, serta Kota Pekalongan berada di zona merah, sedangkan yang masuk zona hijau hanya 5 yaitu Kota Tegal, Kbaupaten Cilacap, Kbaupaten Banyumas, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Sukoharjo. Lainnya masuk zona kuning,” terangnya.

Ia menjelaskan hal-hal apa saja yang menjadi kriteria penilaian. “Hal-hal yang langsung berkaitan dengan layanan yaitu produk, persyaratan, jangka waktu, biaya/tarif dan pengaduan (sering disebut service delivery) inilah yang menjadi penilaian kami,” ujarnya. “Hasil penilaian, banyak pegawai yang tidak mengetahui produk pelayanan yang diberikan oleh instansinya apa saja. Padahal indikator penilaian kepatuhan standar pelyanan publik meliputi persyaratan, sistem mekanisme prosedur, produk pelayanan, jangka waktu, biaya, maklumat pelayanan, ruang tunggu, toilet, meja pelayanan, sarana untuk penerima layanan yang berkebutuhan khusus, pelayanan bagi yang berkebutuhan khusus, sarana pengaduan, informasi prosedur, penyampaian pengaduan, pejabat/petugas pengelolaan pengaduan, sarana pengukuran, kepuasan pelanggan, visi dan misi pelayanan, moto pelayanan. Yang tak kalah penting, petugas harus menggunakan tanda pengenal atau id card,” pungkasnya.(Tanto/NBA/bd)