Semarang – Yayasan Persadani atau Putra Persaudaran Anak Negeri yang merupakan wadah pembinaan bagi eks napiter di Jawa Tengah mengadakan kegiatan Dialog Kebangsaan dan Penguatan Moderasi Beragama Bagi Pelajar se Kota Semarang di Hotel Azana Airport Kalibanteng pada Selasa (20/6/2023) ini.
Syarif Hidayatullah, selaku pembina eks napiter yang merupakan penyuluh agama Islam di Kemenag ini menyebut tujuan kegiatan ini untuk memperkuat komitmen ikhwan-ikhwan sebagai agen Moderasi Beragama ikut andil menyemai pemahaman ini kepada kalangan pelajar agar terhindar atau cegah dini dari paham intoleransi dan radikalisme.
“Inilah perlunya figur credible voice atau mantan pelaku berbicara sebagai agen moderasi beragama kepada para pelajar menurut persepsinya agar pelajar dapat terhindar dari pemahaman intoleransi dan radikalisme sebagaimana yang dulu mereka terpapar,” kata Syarif
Kegiatan yang dilaksanakan dalam dua tahap ini mengundang sejumlah SMA dan SMK baik negeri maupun swasta yang masing-masing terdiri dari unsur Osis, Rohis dan Guru Agama pendamping.
“Kami mengundang setiap SMA terdiri dari tiga unsur yaitu Ketua Osis, Seksi Rohani Islam dan Guru Agama pendamping yang dibagi dalam dua tahap. Yang pertama hari ini mengundang SMA di wilayah Semarang bagian Barat yang meliputi Semarang Tengah, Semarang Utara, Semarang Barat, Mijen, Tugu dan Ngaliyan. Sedangkan tahap kedua menyusul,” terang Ketua Panitia, Nur Afifudin.
Kegiatan dialog yang berlangsung halfday ini menampilkan tiga narasumber yaitu Ahmad Farid, selaku Kepala Kemenag dan Joko Hartono, selaku Sekretaris Badan Kesbangpol serta Ustadz Hadi Masykur, selaku pengurus Persadani yang mantan napi terorisme yang track record nya sebagai sekretaris Amir Jamaah Islamiyah, imbuh Nur.
Ahmad Farid menyampaikan tentang Kebijakan Kemenag tentang perlunya sinergitas dalam oenguatan moderasi beragama, Joko Hartono memberikan tambahan terkait Penguatan wawasan kebangsaan, sedangkan Hadi Masykur menyampaikan persepsi sebagai eks napi terorisme dalam mencegah dini pemahaman intoleransi dan radikalisme berkembang di kalangan pelajar usia SMA.
Kegiatan yang sumber dananya dari hibah pemkot melalui Badan Kesbangpol ini sebagai upaya untuk memberikan masukan alternatif penanggulangan penilaian pelajar yang kurang ideal terhadap Pancasila.
“Miris juga membaca data dari penelitian Setara Institute yang menyebutkan 83,3 persen pelajar menilai Pancasila bisa diganti,” cemas Syarif.
Hadi Masykur atau sering disebut Hamas selaku eks napiter yang pertama terpapar sejak SMP menghimbau kepada para guru-guru agama agar lebih peka terhadap kecenderungan murid-muridnya yang sudah mengarah kepada paham yang bersifat doktiner.
“Saya dulu mulai terpapar sejak kelas 2 SMP dan saat ikuti sebuah kajian di suatu masjid, tiba-tiba ditarik untuk mojok untuk diberi doktrin sehingga dalam waktu singkat mudah terpengaruh,” cerita Hamas.
Ahmad Farid pun menanggapi betapa mudahnya mentor-mentor tersebut dengan metodenya mendoktrin cepat, sedangkan para guru agama baik di sekolah maupun madrasah terkadang sulit untuk menanamkan doktrin kepada muridnya.
“Yang perlu dikaji metodenya mengapa mereka itu gampang mudah mendoktrin, sedangkan kita sulitnya bukan main,” tutur Farid.
Oleh karena itulah, persadani siap untuk memberikan bimbingan konsultasi kepada guru-guru agama dalam deteksi dini paham intoleransi di kalangan pelajar, agar tidak ada lagi murid yang kecolongan, pungka Syarif. (sh/bd)