KOTA PEKALONGAN (Humas) — Pada pekan terakhir Juli 2023, seluruh pejabat eselon I Kementerian Agama beserta istri/suami mengikuti pembekalan dan pendidikan Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas atau disingkat Paku Integritas. Kegiatan tersebut digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas berharap, selain untuk pejabat eselon I, kegiatan Paku Integritas perlu diikuti oleh para Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri dan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Sikap integritas Menteri Agama yang zero tolerance terhadap perbuatan koruptif dan segala bentuk penyelewengan harus menjadi komitmen seluruh jajaran Kementerian Agama.
Gerakan antikorupsi dan penegakan nilai-nilai integritas harus menjadi perhatian utama bangsa Indonesia. Dalam tinjauan umum, “korupsi,” kata almarhum Buya Ahmad Syafi’i Maarif beberapa tahun yang lampau, adalah masalah paling mengkhawatirkan dan semakin menggurita. Penanganannya menjadi sulit karena korupsi telah menggerogoti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Permasalahan ini harus disadari oleh semua pihak khususnya pemerintah dan elite partai politik, untuk merumuskan jalan keluarnya.
Sejak beberapa dekade modernisasi yang memunculkan sumber-sumber kekayaan baru di luar prediksi telah melahirkan korupsi di negara-negara berkembang. Tidak bisa dipungkiri bahaya korupsi mengganggu pertumbuhan ekonomi, meruntuhkan kepercayaan kepada institusi negara, memperlebar jurang ketimpangan sosial dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Perbuatan koruptif adalah moral hazard dan bagi pelakunya seolah menjadi candu.
Dalam banyak kasus korupsi yang terbongkar kemapanan finansial tidak menghalangi seseorang dari perbuatan koruptif. Mengutip Samuel Huntington, salah satu hambatan mengapa tindakan korupsi sulit diberantas ialah karena korupsi melibatkan banyak orang atau instansi, sehingga setiap orang yang mencoba melacaknya salah-salah malah terjerat masuk ranjau.
Menurut cara berpikir pragmatis, dengan kekayaan orang bisa meraih kekuasaan, dan melalui kekuasaan orang bisa mendapatkan kekayaan. Korupsi bersandar pada logika materialisme yang secara diametral berlawanan dengan logika Pancasila. Harian Kompas 31 Januari 2023 merilis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 berada pada poin 34 dan peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Merosotnya Indeks Persepsi Korupsi menjadi tantangan bagi para pemimpin, penyelenggara negara dan para pegiat antikorupsi.
Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Bung Hatta pernah berkata bahwa korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap membudaya. Praktik korupsi yang terpampang sepanjang perjalanan bangsa terjadi sejak era 1950-an, era Orde Lama, Orde Baru dan era Reformasi. Upaya pencegahan, pemberantasan dan penindakan korupsi dilakukan di semua rezim pemerintahan.
Pada masa Presiden Soekarno pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution. Saat itu dibuat aturan yang mewajibkan pengisian daftar kekayaan pejabat negara, namun mendapat penolakan dari sebagian pejabat sehingga aturan itu tidak berjalan. Pemberantasan korupsi digalakkan melalui Operasi Budhi tahun 1963 namun tidak berlangsung lama. Di masa awal Orde Baru, Presiden Soeharto mengangkat Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung dan selanjutnya dibentuk badan pemberantasan korupsi yang diberi nama Komisi Empat tahun 1970 terdiri dari tokoh-tokoh senior bangsa yang bersih dan berwibawa. Penasihat Komisi Empat ialah Mohammad Hatta, Ketua Mr. Wilopo, anggota Prof. Johannes, I.J. Kasimo dan Anwar Tjokroaminoto.
Setelah reformasi, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta dibentuk beberapa badan baru yang terkait. Presiden KH Abdurahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian dibubarkan. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus untuk menangani korupsi dilakukan di masa Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Desember 2002.
Kasus-kasus korupsi dari dulu hingga kini yang pernah terjadi di negara kita di lingkungan instansi pusat dan daerah, antara lain: (a) penggelapan uang negara, (b) penggelembungan harga atau mark-up anggaran belanja barang dan jasa, (c) perjalanan dinas fiktif, (d) suap dari pihak swasta dalam pengadaan barang dan jasa, (e) pungutan liar, (f) gratifikasi, (g) rekayasa proses lelang dan pemenangan tender, (h) komisi atau fee proyek, (i) praktik transaksional dalam promosi, rotasi dan mutasi jabatan, (j) penggunaan fasilitas negara tidak pada tempatnya, (k) korupsi proyek konstruksi, (l) korupsi pajak, (m) korupsi di sektor perizinan, (n) korupsi di sektor bea cukai, (o) korupsi dana operasional pejabat negara, (p) suap kepada oknum penegak hukum (q) korupsi pengelolaan keuangan di perguruan tinggi, dan tindak pidana pencucian uang atau money laundering hasil korupsi.
Pesan integritas dari pejuang antikorupsi H.S. Dillon patut direnungkan. “Di mana ada kewenangan, di situ ada celah untuk menyalahgunakannya, terutama untuk memperkaya diri sendiri. Tinggal kita mau jadi orang berintegritas atau tunduk pada kekuasaan uang.”
Pemberantasan korupsi bukan hanya tugas KPK dan Kejaksaan Agung, melainkan tugas nasional dan membutuhkan dukungan dari semua pihak. Jika menggunakan teori pentahelix, maka pentahelix pemberantasan korupsi meliputi pemerintah, masyarakat, pengusaha, lembaga pendidikan dan media massa. Semua elemen tersebut di atas harus satu visi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Program Reformasi Birokrasi dan transformasi digital di sektor pelayanan publik diharapkan bisa menutup celah korupsi dalam bentuk suap dan pungli. Transformasi digital dan e-Government tetap membutuhkan kejujuran dan integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Pada prinsipnya komitmen pemberantasan korupsi harus dimiliki oleh setiap pejabat publik baik dalam jabatan politik maupun jabatan karier. Seluruh penyelenggara negara, jajaran aparatur sipil negara maupun pelaku usaha yang berurusan dengan instansi pemerintah, wajib menghindari dan melawan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang bertentangan dengan cita-cita reformasi.
Seiring dengan itu, pendidikan integritas antikorupsi perlu diperkuat dengan deseminasi nilai-nilai kejujuran dan keteladanan. Pencegahan korupsi harus melibatkan keluarga sebagai benteng integritas. Korupsi tidak diragukan adalah dosa menurut agama, mengusik ketenangan keluarga dan tanpa disadari melikuidasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa. Perbuatan koruptif merupakan perbuatan mengkhianati Pancasila sebagai dasar kerohanian negara.
Dalam tugas essay pembelajaran Integritas Kepemimpinan pada Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Tahun 2023, saya mencoba menginventarisir strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi melalui beberapa point area perubahan sebagai berikut:
Pertama, penyempurnaan sistem hukum pemberantasan korupsi dan pembentukan undang-undang pembuktian terbalik atau undang-undang perampasan aset terhadap terpidana kasus korupsi;
Kedua, perbaikan struktur gaji pegawai negeri dan pensiunan yang menjamin kesejahteraan di hari tua tanpa korupsi;
Ketiga, perluasan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani disingkat WBK/WBBM di lingkungan kementerian/lembaga, TNI/Polri, BUMN, pemerintah daerah dan perguruan tinggi;
Keempat, pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di semua unit organisasi dan satuan kerja kementerian/lembaga, TNI/Polri, BUMN, pemerintah daerah dan perguruan tinggi;
Kelima, penerapan merit system dalam kebijakan dan manajemen ASN guna mencegah praktik transaksional dalam promosi, rotasi dan mutasi jabatan atau intervensi politik dalam sistem karier aparatur sipil negara;
Keenam, perbaikan sistem Pemilu yang menutup celah bagi timbulnya praktik money politics atau politik uang;
Ketujuh, pembentukan Komite Advokasi Daerah di semua Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan tindak pidana korupsi dan maladministrasi yang mengakibatkan kerugian negara, dan
Kedelapan, penguatan pendidikan integritas antikorupsi melalui lembaga pendidikan formal, organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan.
Pemberantasan korupsi di negara kita tidak menggunakan pendekatan “potong satu generasi” karena masih banyak orang baik, idealis dan jujur sebagai role model pejabat dan pegawai berintegritas. Ke depan, seiring dengan re-generasi aparatur, maka peran tunas muda integritas antikorupsi di kalangan ASN generasi milenial sangat diharapkan sebagai pionir-pionir kejujuran yang tidak boleh disia-siakan. Sumber daya manusia aparatur yang berintegritas adalah benteng moral untuk menjaga institusi negara dan birokrasi dari virus korupsi yang mempunyai daya rusak luar biasa. Bahaya korupsi bukan sekedar kerugian uang negara, tetapi menyangkut mental dan moralitas yang harus dibenahi.
Pendidikan penguatan integritas antikorupsi merupakan salah satu ikhtiar untuk melawan lupa bahwa korupsi penyebab keterpurukan bangsa. Kita bangga Indonesia memiliki tokoh-tokoh berintegritas tinggi yang menjadi teladan lintas generasi. Ada sosok legendaris Bung Karno selaku Bapak Pendiri Negara dan Pembangun Harga Diri Bangsa Indonesia. Selain itu sejumlah tokoh man of integrity yang patut dicontoh, seperti Bung Hatta, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, K.H.A. Wahid Hasjim, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Mr. Mohamad Roem, Bung Tomo, Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution, Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, Jenderal TNI M. Jusuf, Jenderal Polisi R.S. Soekanto, I.J. Kasimo, J. Leimena, Ir. Sutami, Lafran Pane, Baharuddin Lopa, Mar’ie Muhammad dan tokoh lainnya. Disadari atau tidak, harga diri manusia terletak dalam keteguhan dan kesetiaannya pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran.(M.Fuad Nasar/fzn/bd)