Semarang, Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) telah menggulirkan program pengembangan moderasi beragama kurang lebih selama tiga tahun terakhir ini melalui media online yang berjudul “ASN Solutif”.
Pada episode ke-75, Rabu (16/3/2022) Mukhlis Abdillah selaku Kepala Kantor Kemenag Kota Semarang berkesempatan menjadi narasumber dengan mengusung tema “Guru Modif”.
Mukhlis menuturkan guru Modif yaitu guru yang moderat dan inspiratif. Ia memaparkan berdasarkan data dari Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif (UKP3), jumlah pelajar di Indonesia sembilan jutaan berstatus siswa madrasah, empat jutaan tercatat sebagai santri pada pondok pesantren dan tiga puluh tujuh jutaan.
“Data ini menunjukkan bahwa betapa penting peran seorang guru dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa, karena di pundak anak bangsa inilah nantinya Indonesia akan dipimpin. Salah satu penentu baik buruk kepemimpinan mereka adalah dunia pendidikan,” tutur Mukhlis.
“Saat ini bangsa kita sedang diserang oleh ideologi-ideologi baik dari dunia barat maupun timur, bahkan yang berafiliasi dengan ideologi keagamaan. Ideologi-ideologi tersebut membawa nilai-nilai sekuler, individualis, liberalis, pragmatis, kognitif, fundamentalism, formalism, dan ektrimisme beragama,” sambungnya.
Menurutnya berdasarkan peta opini radikalisme, beberapa wilayah di indonesia menunjukkan masih tingginya angka intoleransi beragama, bahkan mengarah kepada darurat radikalisme.
“Dari hasil sebaran radikalisme tersebut, perlu menyusun konsep moderasi di madrasah sehingga bisa mengikis ideoleogi-ideologi sesat,” ujar Mukhlis.
Moderasi beragama adalah bagaimana cara pandang dan bersikap dalam beragama dan berkeagamaan yang moderat.
Ia mengimbau agar madrasah membuat simulasi dalam pembelajaran tentang moderasi beragama secara inklusif sehingga bisa menyelipkan pesan-pesan tersebut baik secara akademik maupun non akademik, selain itu ia juga berharap agar guru madrasah dapat mengamati dan berpikir kritis sehingga di lingkungannya tidak mudah dimasuki oleh paham radikal yang disebarkan melalui media online atau sosial maupun media lainnya.
“Untuk menjadi guru modif, guru dituntut berwawasan luas, oleh karenanya perlu mempersiapkan dengan baik media yang dibutuhkan guna mengembangkan kecerdasasan siswa yang majemuk, termasuk perlu mengkoordinasikannya dengan kearifan lokal,” pesannya.
“Pahamkan betul cara pandang moderasi dan toleransi beragama bagi siswa, melalui kurikulum,” pungkasnya. (NBA/bd)