Netralitas Penyuluh Agama Buddha di Tahun Politik 2024

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Na attahetu na parassa hetu,

Na puttamicche na dhanaṁ na raṭṭhaṁ; Na iccheyya adhammena samiddhimattano,

Sa sīlavā paññavā dhammiko siyā.

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,

demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan,

pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.

Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

(Dhp. 84)

 

Tahun politik Indonesia semakin dekat. Tanggal 14 Februari 2024 dijadwalkan menjadi hari hajatan demokrasi Indonesia. Hingga saat ini, terdapat 40 partai politik yang  mendaftar sebagai peserta Pemilu 2024 (sumber: https://infopemilu.kpu.go.id./Pemilu/Pendaftaran_parpol, diakses pada 11 September 2023). Hal itu menandakan bahwa kita sebagai rakyat Indonesia yang telah memiliki hal pilih, terkhusus umat Buddha harus jeli dalam menentukan pilihan.

Dalam dunia politik, hampir semua sisi kehidupan dapat diolah menjadi isu, terlebih di era digital ini. Setiap orang dapat mengakses media sosial, yang Sebagian besar menjadi basis informasi politik. Apalagi, iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan telah memberikan ruang luas kepada setiap orang dalam bersikap, berekspresi, dan bertindak sesuai koridor yang disepakati oleh suatu kelompok. Dalam konteks ini, agama dan suku cenderung menjadi isu paling sensitif. Keduanya tidak jarang dijadikan alat politik untuk meraih dukungan, bahkan dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.

Atas dasar itulah, diperlukan peran serta masyarakat, termasuk penyuluh Agama Buddha untuk mampu menetralisir kondisi politik yang labil di masyarakat. Penyuluh agama Buddha, tidak hanya semata-mata memiliki peran bimbingan dan penyuluhan pada aspek moral dan spiritual keagamaan, tetapi juga etika dalam berpolitik. Penyuluh Agama Buddha yang menjadi panutan bagi umat, harus memiliki prinsip etika yang baik dalam berpolitik.

Berikut beberapa prinsip etika berpolitik bagi Penyuluh Agama Buddha:

  1. Netralitas

Penyuluh agama Buddha, harus tetap netral secara politis dan tidak mendukung secara terbuka satu partai atau kandidat tertentu. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penyuluh agama sebagai pemimpin rohani yang independen. Sikap netral tersebut, telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, bagi Penyuluh Agama Fungsional, sedangkan bagi Penyuluh Agama Buddha non PNS adalah Keputusan Dirjen Bimas Buddha Nomor 100 Tahun 2022 Tentang Petunjuk Teknis Pengangkatan Penyuluh Agama Buddha Non Pegawai Negeri Sipil. Pada SK Dirjen tersebut, salah satu persyaratan bagi Penyuluh Agama Buddha non PNS adalah ‘bukan merupakan anggota dan pengurus partai politik’.

Itu artinya bahwa Penyuluh Agama Buddha diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Melainkan harus berpihak pada kepentingan bangsa dan negara. Karena hal yang paling dikhawatirkan, apabila penyuluh agama Buddha tidak netral di tahun politik 2024 adalah timbulnya sikap yang tidak professional terhadap tugasnya, sehingga justru akan menimbulkan perpecahan pada umat Buddha sebagai akibat dari pilihan yang berbeda.

  1. Penyuluhan dan Kesadaran

Penyuluh Agama Buddha, harus fokus pada pendidikan dan kesadaran berpolitik sebagai tugasnya dalam penyuluhan pembangunan kepada umat Buddha. Bantu masyarakat Buddha untuk memahami isu-isu politik dan dampaknya pada nilai-nilai moral dan spiritual.

 

  1. Berpikir Kritis

Penyuluh Agama Buddha harus membimbing masyarakat Buddha untuk berpikir kritis dengan isu-isu politik, menganalisis platform dan kebijakan politik, serta mempertimbangkan implikasi etis dari keputusan politik. Maraknya berita-berita palsu dan provokasi terkait politik, sangat rawan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Buddha. Maka dibutuhkan edukasi dan bimbingan yang terus-menerus pada umat Buddha, sehingga tidak mudah terpengaruh dengan berita-berita palsu yang beredar.

  1. Mendorong Partisipasi

Penyuluh Agama Buddha memiliki tugas untuk mendorong partisipasi aktif dalam proses politik tetapi tanpa memaksa atau mempengaruhi secara tidak sehat. Etika dalam partisipasi kampanye juga layak disosialisasikan, sehingga umat Buddha, tidak melakukan pelanggaran pada peraturan pemerintah serta moral-moral keagamaan Buddha.

 

  1. Toleransi dan Penghormatan

Politik damai, memerlukan partisipan yang memiliki nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan dialog yang konstruktif. Penyuluh agama Buddha memiliki peran untuk menginformasikan hal tersebut kepada kelompok binaannya. Penyuluh agama Buddha harus menjadi contoh dalam tindakan dan retorika yang tidak memecah-belah atau fanatisme.

  1. Pentingnya Kepentingan Umum

Penyuluh Agama Buddha, harus terus memberikan bimbingan dan pemahaman bahwa kebijakan dan tindakan politik harus mengutamakan kepentingan umum dan kesejahteraan bersama, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Bahwa pilihan apapun dalam politik harus mempertimbangkan akan kepentingan bangsa dan negara.

 

  1. Bimbingan Moral dan Pemahaman Agama

Bagaimanapun, penyuluh Agama Buddha memiliki tugas bimbingan moral dan etis tidak hanya kepada umat Buddha secara umum, tetapi juga kepada pemimpin politik di masyarakat, termasuk ketika mereka terbukti melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan etika dalam ajaran Buddha. Penting untuk memberikan penyuluhan dan pemahaman, bagaimana berpolitik yang bersih, yang berpedoman pada nilai-nilai ajaran Buddha. Seperti yang tertuang dalam Dhammapada;84, bahwa seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain, demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.

  1. Kerja sama

Jika memungkinkan, Penyuluh Agama Buddha dapat melakukan kerjasama dengan Penyuluh Agama lain, atau dengan para pemimpin agama, dan pemimpin masyarakat dalam mempromosikan nilai-nilai etis berpolitik sehingga tetap terjaga kondisi yang damai, aman, dan nyaman di masyarakat.

 

Dari peran-peran inilah, penyuluh agama Buddha diharapkan dapat mencairkan suasana yang panas, melembutkan yang keras, dan mendamaikan yang bertikai sehingga eksistensinya benar-benar dirasakan masyarakat. Saatnya penyuluh agama Buddha berperan secara lebih optimal sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi umat Buddha.

 

(Jumi’ah, Penyuluh Agama Buddha Kab. Pati)