PUASA DALAM AGAMA BUDDHA

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

“Dan bagaimanakah, Visākhā, uposatha para mulia dijalankan?”

“Pikiran yang kotor dibersihkan melalui usaha”

(AN 3.70: Uposatha Sutta)

Puasa bagi umat Buddha lebih dikenal dengan sebutan uposatha, yang artinya “masuk untuk berdiam di Vihara”. Hal ini dapat diartikan bahwa pelaksanaan uposatha adalah sebagai cara untuk melakukan pengendalian diri terhadap nafsu indera, membersihkan pikiran dari hal-hal kotor, sehingga diperoleh ketenangan dan kebahagiaan batin.

Umat Buddha menjalankan puasa di hari-hari menjelang tanggal 1, 8, 15, dan 23 malam menurut penanggalan lunar. Biasanya terdapat empat hari Uposatha, jadi setiap tujuh hari atau dalam satu minggu terdapat satu hari Uposatha, tetapi kadangkala di dalam satu bulan terdapat lima hari Uposatha. Namun pada saat ini, Uposatha telah dilaksanakan juga oleh umat Buddha selama satu bulan jelang perayaaan Waisak, atau pada hari raya agama Buddha yang lain.

Berbeda dengan puasa pada agama lain, umat Buddha yang sedang berpuasa masih diperkenankan untuk minum air putih serta minum obat di saat sakit, dan makan pada siang hari dengan batas waktu tertentu. Namun, puasa dalam agama Buddha bukan hanya sebatas pengendalian diri dari makan dan minum pada siang hari, tetapi  makna lebih tinggi adalah pengendalian indriawi selama 24 jam. Sang Buddha menganjurkan, agar umat awam menjalankan Uposatha dengan delapan faktor, yang kemudian disebut dengan aṭṭhasīla atau aṭṭhańgasīla (AN 8.41: Saṅkhittūposatha Sutta), terdiri dari:

  1. Pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari penyiksaan maupun pembunuhan makhluk hidup).

  • Adinnādānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan).

  • Abrahma-cariyā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari hubungan tidak suci / hubungan seks).

  • Musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan tidak benar).

  • Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala makanan dan minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran).

  • Vikāla-bhojanā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari makan pada waktu yang salah / setelah tengah hari).

  • Nacca-gīta-vādita-visūka-dassanā mālā-gandha vilepana dhāraṇa maṇḍana vibhūsanaṭṭhānā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi.

(Aku bertekad akan melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan hiburan, bersolek, menggunakan perhiasan, dan wangi-wangian yang bertujuan untuk mempercantik diri).

  • Uccāsayana mahāsayanā veramaṇī sikkhā padaṁ
    samādiyāmi.

(Aku bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah).

Jadi puasa seorang umat Buddha dinyatakan sah, apabila mematuhi delapan larangan tersebut di atas. Jika salah satu larangan tersebut dilanggar, baik sengaja atau tidak, berarti puasanya tidak sempurna.(jum/Sua)