Agama Hadir Sebagai Sumber Peningkatan Peradaban, Bukan Sebagai Identitas Kelompok Sosial

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Surakarta – “Sesungguhnya agama apapun mestinya menjadi sumber peningkatan peradaban. Bukan sebagai identitas kelompok sosial, sehingga tidak dimaknai sebagai ancaman antar kelompok agama itu sendiri. (Oleh karena itu), agama hadir dimuka bumi ini mestinya mengintegrasikan bukan malah dijadikan sebagai arena untuk pengukuhan segregasi sosial dan kekerasan”. Demikian disampaikan Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Menteri Agama Republik Indonesia dalam acara “Pembinaan Penguatan Moderasi Beragama”, di Hotel Shahid Jaya pada Rabu (15/06) malam.

Dalam sambutannya, Zainut menceriterakan pertemuan trilateral antara Indonesia, Afganistan dan Pakistan pada awal oktober 2018, yang digelar oleh MUI, sebagai mediator para ulama’ dari kedua negarayang bertikai. Inisiatornya, waktu itu, HM. Yusuf Kala, sebagai wapres. Dalam pertemuan trilateral tersebut, hadir ulama pro pemerintah dengan ulama yang kontra dengan pemerintah, yang sekarang menjadi penguasa, Taliban. Adapun tujuannya, untuk melakukan tukar pikiran . Dipilihnya Indonesia sebagai mediator, karena mereka melihat Indonesia itu luar biasa. Dengan mayoritas umat beragama islam bisa hidup tenang. Sementara mereka yang penduduk muslimnya mencapai angka 99 persen lebih, akan tetapi tidak bisa tenang.

Kemudian terkait etnis, Indonesia memiliki lebih dari 700 etnis, besar maupun kecil, bisa rukun, saling tegur sapa, tepa slira dan
penuh dengan persaudaraan. Sementara mereka yang hanya 7 etnis, setiap hari tidak bisa duduk dan tegur bersama. Bahkan yang sering terjadi saling tembak menembak atau bom-boman, dan perang saudara terjadi diantara mereka. Akibatnya, korban berjatuhan, mulai dari anak-anak, orang tua, dan masyarakat sipil.

Ia menambahkan, Indonesia sudah berhasil menyelesaikan hubungan antara islam dengan Negara, dan meletakkan dasar-dasar negara. Sementara mereka (Afganistan) belum selesai. Sehingga pertikaian dan pertumpahan darah terus terjadi. Indonesia yang memilih negara integralistik, yakni negara yang memadukan antara nilai-nilai agama dan nilai kebangsaan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, yang kemudian menjadi kesepakatan bersama menjadi Negara yang berlandaskan pancasila. “Dan itu melalui proses perdebatan yang panjang, baik nasionalis maupun agamawan, baik di sidang BPUPKI maupun PPKI”, paparnya.

“Makanya mereka datang ke Indonesia untuk belajar tentang islam wasathiyah (moderat), islam jalan tengah yang ternyata bisa memberikan perdamaian,” ungkap mantan wakil ketua umum MUI itu. Salah satu hasil dari mediasi tersebut, mereka mengirim mahasiswa dan mahasiswinya sebanyak 80 orang untuk belajar di Indonesia, selama dua bulan. Sebagian ada di wilayah Batang dan sebagian lainnya di Bogor.

Yang menarik, setelah mereka selesai belajar, mereka ada yang tidak mau pulang ke negaranya. Alasannya, indonesia adalah negara yang sangat aman. Permasalahan tersebut disampaikan oleh Zainut, karena tidak ingin menjadi seperti mereka meskipun mayoritas dan hanya tujuh etnis, tapi tidak bisa rukun. Yang lebih menyakitkan lagi adanya beberapa pemuda Indonesia yang berfikir terbalik. Mereka pergi ke Afganistan untuk belajar perang disana, kemudian dibawa ke Indonesia untuk mengajari kita perang, hanya karena Negara kita ini belum dianggap islam. “Indonesia adalah Negara Darus Salam, bukan Negara darul harbi ( Negara perang) maka paham-paham seperti itu harus kita tolak”, pungkasnya. (Sol/rf)