Purbalingga – Tingginya angka perceraian di kecamatan Mrebet dibandingkan dengan kecamatan lain di kabupaten Purbalingga menjadi latar belakang Tim PKM FISIP Unsoed Purwokerto tergerak untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan menyelenggarakan Penyuluhan Ketahanan Keluarga pada masyarakat di wilayah tersebut.
Penyuluh Agama Islam Fungsional kecamatan Mrebet Yuyu Yuniawati dalam keterangannya Kamis (16/9/2021) menjelaskan, salah satu sasaran kegiatan tersebut adalah para Penyuluh Agama Islam.
“Alhamdulillah, Penyuluh Agama Islam ikut dilibatkan dalam kegiatan ini, meskipun sasaran utamanya adalah Tim Penggerak PKK Kecamatan Mrebet. Mengingat penyuluh agama juga memiliki peran dan kontribusi yang cukup strategis dalam mewujudkan ketahanan keluarga, khususnya bagi Penyuluh Agama Islam bidang keluarga sakinah,” jelasnya.
Menurutnya, melalui kegiatan tersebut Penyuluh Agama dapat menjalankan fungsi informatif dan edukatifnya. Yakni melalui kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama pada kelompok-kelompok binaan dengan fokus materi Keluarga Sakinah.
“Kegiatan pemaparan materi Ketahanan Keluarga kepada para Penyuluh Agama dilakukan di Aula Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji KUA Mrebet 1 pada Senin (13/09) lalu,” katanya.
Kegiatan tersebut diikuti oleh para Penyuluh Agama Islam PNS dan Non PNS se-kecamatan Mrebet. Sedangkan pemaparan materi disampaikan oleh Dr Dyah R Puspita, M.Hum dari Tim PKM FISIP Unsoed Purwokerto dengan tema Ketahanan Keluarga (TAHGA) di Masa Pandemi Covid-19.
Yuyu menambahkan, kegiatan tersebut sebenarnya diagendakan di akhir Juni sebagai rangkaian peringatan “Hari Keluarga Nasional 2021”, namun baru terlaksana karena adanya kebijakan PPKM Darurat.
“Namun sebelumnya materi paparan telah diberikan dan dibahas melalui diskusi dengan para Penyuluh Agama secara online melalui grup whatsapp,” jelasnya.
Tertinggi Cerai Gugat
Menurut Yuyu, dalam materi paparannya Dyah R Puspita mengungkapkan, kasus perceraian di kecamatan Mrebet berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS) Purbalingga pada rentang tahun 2016 – 2018 mencapai peringkat tertinggi.
“Berada di peringkat pertama dengan jumlah lebih dari 100 kasus dan terus bertambah di setiap tahunnya. Lebih prihatin lagi ternyata prosentasenya yang tinggi terjadi pada kasus cerai gugat dibandingkan cerai talak,” ungkapnya.
Selain itu Dyah juga mengemukakan fenomena “Pamong Praja” (Papa Momong Mama Kerja) atau “Ternak Teri” (Nganter Anak Nganter Istri) yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari lebih tingginya peluang kerja bagi kaum perempuan dengan banyaknya pabrik rambut, dibandingkan dengan kurangnya peluang kerja bagi kaum laki-laki.
“Sehingga terjadi pengalihan peran suami istri, di mana istri yang bekerja dan suami yang di rumah mengurus rumah tangga. Kondisi ini menjadi salah satu faktor pemicu banyaknya kasus perceraian di kabupaten Purbalingga, Data menunjukkan bahwa faktor tidak ada tanggung jawab, lemahnya ekonomi dan tidak ada keharmonisan keluarga menjadi penyebab terbanyak terjadinya perceraian,” tuturnya.
Ia menambahkan, masih tingginya angka pengajuan dispensasi nikah (pengajuan ijin menikah karena usia catin belum 19 tahun) menjadikan mereka rentan bercerai karena belum memiliki kesiapan. Selain itu belum optimalnya pelaksanaan kursus calon pengantin (suscatin) atau bimbingan perkawinan (bimwin) bagi calon pengantin menjadikan banyak calon pengantin yang belum siap secara keilmuan.
“Lemahnya peran lembaga mediasi seperti BP4 dan dimudahkannya proses pengajuan perceraian yang pada dasarnya semestinya dipersulit menjadi faktor pemicu terjadinya perceraian yang semakin tahun semakin meningkat. Bahkan meningkat tajam secara nasional di masa pandemi covid-19 ini,” tandasnya.
Karenanya menjadi tugas bersama semua elemen masyarakat, termasuk Penyuluh Agama untuk bersama-sama berkontribusi ikut serta menyosialisasikan pentingnya ketahanan keluarga demi menekan tingginya angka perceraian di kabupaten Purbalingga, khususnya di Kecamatan Mrebet.* (sar/bd)