Purbalingga – Mengemban amanah sebagai pelayan masyarakat, Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian Agama Kabupaten kembali memenuhi permohonan kegiatan Pengukuran Arah Kiblat. Tim Ukur Arah Kiblat yang dipimpin Penyelenggara Syariah, Purwadi bersama Humas mendatangi Masjid Nurul Huda Dusun I Desa Karangbanjar RT 04/RW 02 Kecamatan Bojongsari, Selasa (30/10).
“Alhamdulillah proses pengukuran berlangsung sangat lancar dan sangat cepat. Arah penunjuk kiblat baik dalam perhitungan rumus maupun menggunakan theodolit dan kompas manual sama-sama langsung menunjukkan hasil,” ungkap Purwadi.
Berdasarkan pengalamannya dalam beberapa kali pengukuran arah kiblat di masjid-masjid yang berbeda, proses pengukuran sering berlangsung lama dan sulit. Bahkan terdapat kasus perbedaan hasil antara pengukuran dan perhitungan baik secara manual maupun sudut hasil pada theodolit.
Tokoh masyarakat yang juga penasehat Takmir Masjid Nurul Huda Karangbanjar, Sutrisno menjelaskan, pengukuran arah kiblat masjid tersebut terakhir kali dilakukan pada tahun 1983 dengan menggunakan kompas (manual). Namun dengan adanya renovasi bangunan masjid garis shof menjadi hilang.
“Kami bersama Takmir Masjid berinisiatif untuk melakukan pengukuran arah kiblat kembali dengan meminta bantuan Tim Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga,” jelas Sutrisno.
Ia menuturkan, saat melaksanakan ibadah shalat salah seorang jamaah selalu menyerongkan arah kiblatnya ke kanan – berbeda dengan jamaah lainnya. Ternyata yang bersangkutan menyampaikan pernah mengikuti musyawarah terkait pengukuran arah kiblat masjid tersebut pada tahun 1983. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan penting baginya untuk menyegerakan kegiatan pengukuran arah kiblat masjid kembali.
“Terkait hasil pengukuran yang menetapkan posisi shof berubah menyerong ke kanan dengan sudut penunjuk kiblat 186 derajat 10 detik tidak ada permasalahan. Jamaah di masjid ini insyaalloh semuanya sami’na wa atho’na,” ungkapnya.
Perubahan Nama
Menurutnya, masjid yang didirikan pada 1960-an tersebut semula bernama Al Amin. Namun pada masa kepemimpinannya sebagai Takmir, terjadi perubahan nama dari Al Amin menjadi Nurul Huda. Masjid yang berada di tengah-tengah pemukiman warga tersebut pada awalnya didirikan dengan ukuran 7×10 meter dengan bahan bangunan berupa kayu dan bambu.
“Dinding masjid terbuat dari anyaman bambu atau gedhek. Untuk lantainya plupuh bambu dengan alas tikar pandan. Kami bahkan sempat iuran untuk pengadaannya dengan uang hasil jual ikan. Saya dengan beberapa orang anak yang biasa tidur di masjid tersebut menangkap ikan di sungai dengan alat tradisional yang disebut bubu atau wuwu. Hasilnya kita sumbangkan ke masjid,” tuturnya. (sar/gt)