Pernikahan Dini Antarkan Penyuluh Agama Islam Juara I Lomba Menulis

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Kota Mungkid – Azizah Herawati, S.Ag, MSI, Penyuluh Agama Islam Fungsional pada KUA Kecamatan Candimulyo Kab. Magelang meraih Juara I Lomba Menulis yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah.

Tulisan Azizah Herawati yang berjudul “Pernikahan Dini Menyelesaikan Masalah dengan Masalah”, berhasil menyisihkan 700 peserta lain, dan mengantarkannya meraih prestasi terbaik. Melalui tulisannya, Azizah mengajak para generasi menghindari pernikahan dini agar dapat mempersiapkan generasi tangguh yang pada saatnya nanti benar-benar siap menikah. Sebagaimana yang diprogramkan pemerintah yakni “Nikah Sehati”, Sehat, Terencana dan Mandiri.

Dihubungi melalui media perpesanan, Selasa, (31/05/2022), Azizah Herawati menyampaikan bahwa tulisannya merupakan pengalaman dan pengamatannya sebagai Penyuluh Agama di Kantor Urusan Agama (KUA) selama 17 tahun, yang menemukan banyak faktor penyebab terjadinya pernikahan dini. Pemicunya tidak hanya masalah klise yang angkanya terus bertambah, yakni kehamilan di luar nikah, namun ada juga yang terjadi karena faktor lingkungan dan nilai sosial budaya atau adat istiadat. Kondisi ekonomi dan latar belakang pendidikan keluarga juga menambah lengkap rentannya kejadian pernikahan dini.

Azizah teringat ketika ditugaskan di kawasan yang sebagian penduduknya berada di lereng Gunung Sumbing. Kala itu usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum diubah, yakni minimal 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Budaya yang berlaku di daerah mereka, pernikahan belum didaftarkan tapi persiapan pesta sudah digelar besar-besaran. Nah, saat didaftarkan di KUA, ternyata usia calon pengantin perempuan masih kurang dari 16 tahun. Bagi mereka itu biasa, karena di lingkungan mereka seusia itu sudah bekerja dan saatnya dinikahkan meskipun tidak terjadi ‘kecelakaan’ alias kehamilan sebelum menikah.

Peristiwa serupa juga terjadi ketika Azizah bersama tim Kabupaten Layak Anak melakukan sosialisasi penundaan usia nikah di lereng Gunung Merbabu dan Merapi. Adat istiadat yang berlaku di sana, jika anak telah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan baru lulus Sekolah Dasar (SD) sudah saatnya dinikahkan. Bahkan jika sudah dilamar mereka sudah boleh melakukan apa saja dan orangtuanya bangga karena ‘anaknya sudah laku’.

Alasan menghindari perzinaan juga sering dijadikan dasar untuk menikahkan anak di usia muda. Dari sinilah kita bisa menarik benang merah bahwa faktor ketidaktahuan tentang bahaya pernikahan dini, seperti kesiapan mental, kemapanan finansial, kematangan organ reproduksi dan pengetahuan tentang pengasuhan anak menjadi sebuah keniscayaan untuk terus dikampanyekan.

Allah Swt memperingatkan agar para orang tua dapat mewariskan generasi terbaik sepeninggalnya dengan mempersiapkan generasi yang berkualitas sebagaimana dalam Al Quran surat An-Nisa’ ayat 9 yang artinya:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Sementara itu, kekhawatiran melahirkan generasi yang lemah akibat pernikahan dini sangat mungkin terjadi. Bagaimana tidak, jika calon orang tua dari anak yang akan dilahirkan memiliki banyak risiko akibat dari pernikahan dini. Setidaknya ada tiga risiko yang rentan dialami dari pernikahan dini, yaitu:

Pertama, risiko kejiwaan. Pasangan nikah dini apalagi yang disebabkan oleh kehamilan tak diinginkan sangat rentan mengalami stress. Secara psikologis mereka tidak siap mental dan belum matang untuk menghadapi problematika kehidupan. Ketidaksiapan untuk hamil, janin yang tidak dikehendaki keberadaannya akan berakibat buruk dalam perkembangannya sejak dalam kandungan. Perlakuan kurang baik dan perhatian terhadap janin yang tidak serius seperti umumnya orang hamil akan berdampak pada kurangnya perhatian dan kasih sayang pada anaknya bahkan setelah dilahirkan. Sehingga anak akan mengalami lemah mental dan bermasalah dalam pergaulan.

Kedua, risiko sosial. Hukum tak tertulis yang berlaku di masyarakat terkadang lebih tajam daripada pedang. Dengan menikah, masalah tidak serta merta selesai. Mereka akan terus menjadi bahan pergunjingan yang tak berujung. Jika tidak siap, mereka akan semakin tak berdaya. Tuntutan menjalani peran sebagai orangtua secara tiba-tiba, saat teman-teman seusianya masih menikmati kebahagiaan masa muda semakin menambah daftar rentetan permasalahan hidup. Akibatnya kepengasuhan terhadap anak menjadi terabaikan. Anak tidak lagi menjadi sesuatu yang membahagiakan, namun dianggap sebagai beban.

Ketiga, risiko kesehatan. Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) mencanangkan usia ideal menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. PUP bukan sekedar menunda pernikahan sampai usia tertentu saja, namun juga mengusahakan supaya kehamilan pertama terjadi pada usia cukup dewasa. Sudah terbukti dari segi kesehatan, pernikahan dini berdampak negatif bagi ibu dan anak. Hal ini terjadi karena mereka belum siap menerima risiko kehamilan dan persalinan. Risiko tersebut lebih serius daripada mereka yang sudah cukup umur, antara lain risiko terkena kanker leher rahim, cenderung melahirkan anak stunting, persalinan macet, gangguan pertumbuhan tulang dan yang paling fatal adalah kematian ibu dan bayi.

Untuk mencegah pernikahan dini, Azizah mengkampanyekan Gerceg Wincah (Gerakan Pencegahan Perkawinan Bocah) yang merupakan program aksi sebagai Agen Perubahan Pembangunan Zona Integritas di Kantor Kemenag Kab. Magelang. Melalui Gerceg Wincah, Azizah merangkul generasi muda khususnya pada daerah binaannya, diharapkan menjadi konselor sebaya. Konselor sebaya inilah yang akan mengajak teman-temannya untuk mempersiapkan pernikahan dengan baik, yaitu menikah saat benar-benar sudah siap.

Melalui tulisannya, Azizah mengajak kita semua untuk memahami tujuan luhur dari sebuah pernikahan yakni membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sebuah keluarga yang diliputi ketentraman, penuh curahan cinta dan kasih sayang sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Ar-Rum ayat 21 yang artinya:

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.(m45k/Sua)