“Sārattā kāmabhogesu,
giddhā kāmesu mucchitā;
Atisāraṃ na bujjhanti,
migā kūṭaṃva oḍḍitaṃ;
Pacchāsaṃ kaṭukaṃ hoti,
vipāko hissa pāpako”ti.
Penuh keinginan akan harta benda dan kesenangan,
serakah, tergila-gila pada kenikmatan indria;
mereka tidak menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh,
seperti rusa yang jatuh ke dalam perangkap yang dipasang.
Nanti akan terasa pahit;
karena akibatnya akan buruk bagi mereka.
(Appakasutta:Saṁyutta Nikāya 3.6)
Pada era digital seperti saat ini, menunjukkan miliknya melalui media sosial telah menjadi hal yang lumrah. Sesuatu yang dipamerkan di media sosial biasanya berupa jabatan, prestasi, harta, kekayaan, status sosial bahkan sesuatu yang “tidak bernilai”. Dalam bahasa umum, hal ini disebut flexing, yakni menunjukkan sesuatu ke media sosial yang biasanya bertujuan untuk memperoleh pengakuan dari orang lain. Hal ini bukanlah suatu larangan, asalkan konten-konten media sosial yang disebarkan, bukanlah materi yang bertentangan dengan UU ITE yang berlaku di Indonesia, misalnya konten yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, provokasi, menjajakan obat-obatan atau barang-barang terlarang (alkohol, narkoba, dsb.), dan bullying.
Meskipun begitu, mengunggah hal-hal yang bersifat pribadi sebaiknya tetap berhati-hati, karena apapun yang telah unggah di media sosial memungkinkan timbulnya kejahatan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Setiap orang dapat saja memanfaatkan konten-konten orang lain, sebagai sarana penipuan dan kejahatan lainnya. Akibat secara langsung dari pamer di media sosial adalah timbulkan ketidaksukaan, kecemburuan, atau bahkan keirihatian bagi orang lain yang merasa tidak mampu menjadi seperti mereka yang sedang flexing itu.
Dalam perspektif ajaran Buddha, pamer kekayaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip utama Dhamma (ajaran Buddha) karena selain menimbulkan hal yang tidak baik seperti dampak flexing secara umum, maka dapat menjadi penghalang dalam mencapai pencerahan dan kebahagiaan sejati. Pamer kekayaaan melibatkan tindakan memamerkan atau memperlihatkan harta, prestasi, atau status sosial seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau rasa superioritas. Dalam perspektif ajaran Buddha, tindakan ini dapat meningkatkan keterikatan kepada dunia materi, meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap orang membutuhkan materi untuk melangsungkan kehidupan serta pendukung kabajikan.
Beberapa poin penting dalam perspektif ajaran Buddha terkait dengan budaya pamer kekayaan adalah sebagai berikut:
- Ketidakkekalan pada materi atau kekayaan
- Kebijaksanaan akan Kebutuhan yang Sederhana
- Karma dan Akibat (Kammavipaka)
- Pembebasan dari Ikatan