Budaya Pamer Kekayaan Dalam Perspektif Ajaran Buddha

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

“Sārattā kāmabhogesu,
giddhā kāmesu mucchitā;
Atisāraṃ na bujjhanti,
migā kūṭaṃva oḍḍitaṃ;
Pacchāsaṃ kaṭukaṃ hoti,
vipāko hissa pāpako”ti.

Penuh keinginan akan harta benda dan kesenangan,

serakah, tergila-gila pada kenikmatan indria;

mereka tidak menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh,

seperti rusa yang jatuh ke dalam perangkap yang dipasang.

Nanti akan terasa pahit;

karena akibatnya akan buruk bagi mereka.

(Appakasutta:Saṁyutta Nikāya 3.6)

Pada era digital seperti saat ini, menunjukkan miliknya melalui media sosial telah menjadi hal yang lumrah. Sesuatu yang dipamerkan di media sosial biasanya berupa jabatan, prestasi, harta, kekayaan, status sosial bahkan sesuatu yang “tidak bernilai”. Dalam bahasa umum, hal ini disebut flexing, yakni menunjukkan sesuatu ke media sosial yang biasanya bertujuan untuk memperoleh pengakuan dari orang lain. Hal ini bukanlah suatu larangan, asalkan konten-konten media sosial yang disebarkan, bukanlah materi yang bertentangan dengan UU ITE yang berlaku di Indonesia, misalnya konten yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, provokasi, menjajakan obat-obatan atau barang-barang terlarang (alkohol, narkoba, dsb.), dan bullying.

Meskipun begitu, mengunggah hal-hal yang bersifat pribadi sebaiknya tetap berhati-hati, karena apapun yang telah unggah di media sosial memungkinkan timbulnya kejahatan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Setiap orang dapat saja memanfaatkan konten-konten orang lain, sebagai sarana penipuan dan kejahatan lainnya. Akibat secara langsung dari pamer di media sosial adalah timbulkan ketidaksukaan, kecemburuan, atau bahkan keirihatian bagi orang lain yang merasa tidak mampu menjadi seperti mereka yang sedang flexing itu.

Dalam perspektif ajaran Buddha, pamer kekayaan  tidak sesuai dengan prinsip-prinsip utama Dhamma (ajaran Buddha) karena selain menimbulkan hal yang tidak baik seperti dampak flexing secara umum, maka dapat menjadi penghalang dalam mencapai pencerahan dan kebahagiaan sejati. Pamer kekayaaan melibatkan tindakan memamerkan atau memperlihatkan harta, prestasi, atau status sosial seseorang kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau rasa superioritas. Dalam perspektif ajaran Buddha, tindakan ini dapat meningkatkan keterikatan kepada dunia materi, meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap orang membutuhkan materi untuk melangsungkan kehidupan serta pendukung kabajikan.

Beberapa poin penting dalam perspektif ajaran Buddha terkait dengan budaya pamer kekayaan adalah sebagai berikut:

  • Ketidakkekalan pada materi atau kekayaan

Salah satu dari Tiga Karakteristik Eksistensi Kehidupan (Tilakkhana) dalam ajaran Buddha adalah Anicca, yang mengacu pada sifat ketidakkekalan dari segala hal di dunia ini, termasuk kekayaan, materi, jabatan, dan status sosial. Kekayaan, dan lainnya adalah segala sesuatu yang bersifat sementara, maka dari itu, setiap orang hendaknya tidak sombong dengan miliknya itu. Sebagai umat Buddha, kita harus mampu memanfaatkan sebaik mungkin harta, atau jabatan kita untuk mendukung kebajikan pada kehidupan saat ini, sehingga dengan kebajikan-kebajikan itu akan membantu tercapainya tujuan tertinggi umat Buddha, yakni Kebahagiaan Sejati.

  • Kebijaksanaan akan Kebutuhan yang Sederhana

Ajaran Buddha menekankan pentingnya melatih hidup yang sederhana. Kebutuhan yang berlebihan dan pencarian tak terbatas cenderung menimbulkan keterikatan terhadap kepemilikan serta menambah nafsu keinginan duniawi yang tidak ada habisnya. Tetapi dengan melatih hidup yang sederhana dan “merasa” cukup, akan membantu untuk mengurangi kemelekatan sebagai penyebab penderitaan. Seperti dalam kotbah Buddha “Dhammacakkapavatthana Sutta” bahwa sebab penderitaan adalah kemelekatan padanafsu keinginan (tanha) yang tiada habisnya.

  • Karma dan Akibat (Kammavipaka)

Karma atau kamma, mengajarkan bahwa segala tindakan yang diawali dengan kehendak (cetana) akan berakibat pada si pembuat. Jika seseorang terlibat dalam tindakan pamer kekayaan yang didasarkan pada kesombongan atau niat yang tidak baik, ini dapat menghasilkan akibat negatif di masa mendatang. Karma  baik atau buruk akan membentuk kondisi kehidupan kita saat ini dan mempengaruhi kelahiran berikutnya.

  • Pembebasan dari Ikatan

Ajaran Buddha mendorong untuk membebaskan diri dari ikatan terhadap dunia materi maupun keinginan nafsu indera. Pamer kekayaan dapat menjadi bentuk kemelekatan yang memperkuat siklus kelahiran yang berulang (samsara). Pembebasan dari ikatan ini adalah tujuan utama ajaran Buddha yakni kebebasan dari kelahiran kembali.

Dalam praktik spiritual Buddhis, praktisi didorong untuk mengembangkan sifat-sifat seperti kesederhanaan, kerendahan hati, kemurahan hati, dan kedermawanan. Pamer kekayaan dianggap sebagai hambatan dalam pengembangan sifat-sifat ini dan dapat menghambat perjalanan menuju pencerahan, seperti dalam Appakasutta:Saṁyutta Nikāya 3.6, Buddha menyampaikan, bahwa, penuh keinginan akan harta benda dan kesenangan, serakah, tergila-gila pada kenikmatan indria, mereka tidak menyadari bahwa telah bertindak terlalu jauh, seperti rusa yang jatuh ke dalam perangkap yang dipasang, nanti akan terasa pahit karena akibatnya akan buruk bagi mereka.

Oleh karena itu, menurut ajaran Buddha, penting untuk menghindari pamer kekayaan serta berusaha mengembangkan sikap rendah hati, dan pengendalian diri pada dunia materi.(jum)