Prank ditinjau dari sudut pandang Agama Buddha

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Abhūtavādī nirayaṃ upeti,

Yo vāpi katvā na karomi cāha

Ubhopi te pecca samā bhavanti

Nihīnakammā manujā parattha

Orang yang selalu berbicara tidak benar,

dan juga orang yang setelah berbuat kemudian berkata:

“Aku tidak melakukannya,” akan masuk ke neraka.

Dua macam orang yang mempunyai kelakuan rendah ini,

mempunyai nasib yang sama dalam kehidupan selanjutnya.” (Dhp 306)

Prank artinya lelucon, Lelucon ini secara sengaja dibuat sehingga diharapkan menjadi sesuatu yang “lucu”. Prank, tidak hanya dimainkan oleh para remaja, pemuda, maupun anak-anak, tetapi juga dilakukan oleh orang dewasa. Pada dasarnya aksi prank dilakukan dengan kandungan berunsur humor atau kelucuan. Namun pada perkembangannya, berseliweran di media sosial soal tidak sedikitnya aksi prank yang dianggap melewati batas kewajaran. Bahkan belakangan, tindakan ini semakin mendapat opini negatif dari masyarakat, terutama terhadap aksi yang dianggap tidak lebih dari sekadar usil, tak bermanfaat, bahkan mengganggu ketertiban umum.

Kisah Ferdian Paleka misalnya, prank sembako sampah yang dibuatnya berbuntut ke jeruji besi. Atau tewasnya dua remaja di Kulon Progo karena prank ulang tahun. Rian Haryanto, remaja 15 tahun yang sedang berulang tahun, diceburkan ke dalam underpass yang saat itu tergenang air sedalam 3 meter akibat hujan. Rian yang tidak bisa berenang, akhirnya ditemukan tak bernyawa (https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/). Dan masih banyak cerita lain dari prank yang berakibat buruk, baik bagi korban maupun pembuat konten prank itu sendiri.

Lalu, bagaimana Agama Buddha memandang fenomena prank di masyarakat?

Di dalam agama Buddha, prank cenderung lebih diartikan suatu bentuk kebohongan. Agama Buddha, bahkan setiap agama, jelas-jelas melarang tindakan berbohong. Umat Buddha memiliki tekad lima sila (Pañcasīla Buddhis), yang harus dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat awam. Salah satunya berbunyi: “Musāvāda veramani sikkhapadam samādiyāmi”, yang artinya, saya bertekad untuk melatih diri dari bicara yang tidak benar. Meskipun pada kalimat ini hanya mengacu kepada ucapan yang tidak benar, tetapi prank justru lebih luas daripada itu.

Di dalam Samanaphala Sutta disebutkan bahwa ucapan yang tidak benar adalah ucapan yang mengandung kebohongan (musãvãdã), fitnah (pisunãvãcã), ucapan kasar/caci-maki (pharusavãcã), dan percakapan yang tidak bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Sedangkan ucapan yang benar adalah ucapan dengan menghindari 4 hal di atas, serta mengandung 4 unsur lainnya, yaitu: diucapkan pada waktu yang tepat, ucapan yang bermanfaat, ucapan yang memiliki alasan, dan ucapan itu memang benar (Saccavibhanga Sutta).

Akibat dari ucapan yang tidak benar adalah ketidakpercayaan dari orang lain, dana akan sering menjadi objek fitnah dari orang lain. Demikian juga orang yang sering melakukan prank, kita menjadi tidak percaya terhadap orang itu, dan jika terdapat kejadian buruk akibat prank, maka orang akan menuduhnya, bahwa dialah yang melakukan.

Dampak yang lebih buruk yang terjadi pada korban prank adalah pengaruh terhadap pada psikologis seseorang. Hal ini karena dalam kondisi apapun si korban, tetap mengalami “keterkejutan” ketika prank itu menimpa dirinya. Perasaan terkejut, kaget, atau takut inilah yang akan berdampak terhadap kesehatan seseorang. Pada akhirnya korban menjadi stress, trauma, phobia, bahkan mengalami gagal jantung. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa salah satu penyebab gagal jantung adalah  disebabkan detak jantung yang lebih cepat. Beberapa pemicu detak jantung yang lebih cepat adalah karena terkejut, takut, stress, dan cemas. Perubahan ritme detak jantung yang tidak normal inilah yang kemudian menyebabkan seseorang menjadi tidak nyaman, pingsan, bahkan meninggal dunia (https://www.alodokter.com/).

Sebagai umat Buddha, tentu kita tidak mau menjadi penyebab penderitaan orang lain. Apapun alasannya. Sebagaimanapun dekatnya hubungan kita dengan seseorang, tetapi kita tidak pernah tahu apa yang sedang dialami orang itu, terutama kondisi batin, dan kondisi kesehatannya, belum tentu dia bisa menerima kejutan yang kita buat. Apalagi kalau kejutannya didahului dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Prank dapat merusak kestabilan emosi seseorang, dan menimbulkan masalah kejiwaan yang cukup besar di kemudian hari, hingga kematian. (jum/at)